Table of Contents

Orang yang Bersenjata ‘Susah’ Untuk Diajak Berdiskusi dengan Kedudukan yang Sama

Mengapa individu bersenjata sulit diajak berdiskusi secara setara?
Table of Contents

Pendahuluan: Kekuasaan, Senjata, dan Kesulitan Diskusi Setara

Bayangkan kamu sedang dalam sebuah perdebatan sengit. Namun, lawan bicaramu memiliki senjata di pinggangnya. Meskipun Kamu memiliki argumen yang kuat, apakah kamu masih merasa bebas untuk menyampaikan pendapat dengan tegas? Ataukah ada dorongan bawah sadar yang membuat Kamu sedikit mengendur, berbicara lebih hati-hati, atau bahkan menghindari konfrontasi langsung? Fenomena ini bukan sekadar perasaan pribadi, melainkan hasil dari dinamika psikologis, konsep relasi kuasa, dan teori kekerasan yang telah lama dipelajari dalam ilmu sosial dan psikologi politik.

Dalam setiap hubungan sosial, kesetaraan dalam berdiskusi adalah prasyarat utama untuk membangun dialog yang sehat. Namun, ketika salah satu pihak memiliki akses terhadap alat kekerasan—baik itu dalam bentuk senjata api, posisi militer, atau otoritas koersif lainnya—kesetaraan itu menjadi goyah. Artikel ini akan membahas mengapa individu yang bersenjata sulit diajak berdiskusi dengan kedudukan yang sama, menggunakan analisis psikologi sosial, konsep relasi kuasa, serta teori management of violence dalam kerangka paradigma realisme dalam hubungan internasional.

Relasi Kuasa: Ketimpangan yang Diciptakan Senjata

Michel Foucault dalam analisisnya tentang kekuasaan menegaskan bahwa setiap hubungan sosial selalu diwarnai oleh permainan kuasa. Dalam bukunya Discipline and Punish (1977), ia menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja melalui kontrol terhadap tubuh dan pikiran. Dalam konteks diskusi atau debat, kuasa tidak hanya muncul dari dominasi intelektual, tetapi juga dari kemampuan untuk memaksakan kehendak secara fisik.

Ketika seseorang memiliki senjata, relasi kuasa yang ada menjadi timpang. Orang bersenjata tidak perlu berargumen dengan logika dan retorika yang baik, karena keberadaan senjata itu sendiri sudah cukup menjadi alat legitimasi kekuasaan. Orang yang tidak bersenjata, di sisi lain, akan cenderung menyesuaikan perilakunya untuk menghindari risiko konflik atau kekerasan. Hal ini dikenal sebagai teori dominasi psikologis, di mana ancaman laten dari kekerasan membuat individu lebih patuh dan enggan untuk melawan.

Dari perspektif psikologi sosial, konsep authority bias juga berperan dalam ketimpangan ini. Eksperimen klasik Milgram (1963) menunjukkan bagaimana individu cenderung tunduk kepada mereka yang dianggap memiliki otoritas, bahkan jika itu berarti melakukan tindakan yang bertentangan dengan nurani mereka. Dalam kasus ini, senjata tidak hanya menjadi alat fisik, tetapi juga simbol otoritas yang memperkuat bias tersebut. Ketika seseorang memegang senjata, ia tidak hanya lebih sulit untuk diajak berdiskusi secara egaliter, tetapi juga memiliki kecenderungan untuk merasa lebih unggul dalam percakapan.

Baca juga: Mengapa RUU-TNI Berbahaya Bagi Kelangsungan Demokrasi Indonesia?

Management of Violence: Kekerasan sebagai Legitimasi Otoritas

Konsep management of violence diperkenalkan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Soldier and the State (1957), di mana ia menjelaskan bahwa militer dan aparat keamanan memiliki peran unik dalam masyarakat, yaitu sebagai institusi yang memiliki monopoli atas penggunaan kekerasan yang sah. Dalam konteks ini, keberadaan individu bersenjata dalam suatu diskusi menciptakan ketidaksetaraan fundamental: satu pihak memiliki alat untuk memaksakan kehendaknya secara fisik, sementara pihak lainnya hanya memiliki argumen dan kata-kata.

Dinamika ini semakin diperkuat dalam konteks hubungan sipil-militer di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ketika anggota militer atau aparat keamanan terlibat dalam diskusi dengan masyarakat sipil, ada kecenderungan bahwa pihak sipil harus lebih berhati-hati dalam berbicara. Bahkan ketika pihak bersenjata tersebut bersikap netral, kesadaran akan kemungkinan tindakan koersif tetap ada dalam benak peserta diskusi lainnya. Hal ini menciptakan efek psikologis yang menghambat kebebasan berpendapat, di mana individu merasa bahwa berbicara terlalu bebas bisa membawa konsekuensi yang tidak diinginkan.

Studi yang dilakukan oleh Robert J. Lifton (1986) tentang dampak psikologis dari kekerasan koersif menunjukkan bahwa kehadiran senjata dalam suatu lingkungan sosial dapat mengubah perilaku dan ekspresi individu secara drastis. Ketakutan akan potensi kekerasan sering kali cukup untuk membuat seseorang mengubah pandangan, menghindari argumen yang terlalu kritis, atau bahkan diam sama sekali. Dengan demikian, kehadiran individu bersenjata dalam diskusi demokratis secara tidak langsung menciptakan bentuk sensor diri yang tidak disadari, yang berlawanan dengan esensi kebebasan berbicara.

Paradigma Realisme: Siapa yang Punya Kekuatan, Dialah yang Menentukan Aturan

Dalam hubungan internasional, paradigma realisme yang dikemukakan oleh Hans Morgenthau (1948) menegaskan bahwa politik dunia ditentukan oleh kekuatan dan kepentingan nasional. Negara-negara yang lebih kuat cenderung memiliki pengaruh lebih besar dalam perundingan global, sementara negara yang lebih lemah sering kali dipaksa untuk bernegosiasi dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Prinsip ini dapat diterjemahkan ke dalam hubungan interpersonal: dalam suatu diskusi, individu atau kelompok yang memiliki kekuatan koersif (dalam bentuk senjata atau otoritas) memiliki daya tawar yang lebih tinggi dibandingkan pihak yang tidak memiliki akses ke alat kekerasan.

Fenomena ini dapat kita lihat dalam berbagai kasus, dari negosiasi antara pemerintah dan kelompok pemberontak, hingga interaksi antara aparat keamanan dan masyarakat sipil. Ketika satu pihak memiliki kekuatan koersif yang lebih besar, pihak lain cenderung harus beradaptasi dengan tuntutan mereka. Dalam dunia nyata, ini sering kali berarti bahwa pihak bersenjata memiliki keleluasaan untuk menentukan batasan diskusi, mengendalikan topik yang boleh atau tidak boleh dibicarakan, dan pada akhirnya, memonopoli hasil perundingan.

Dalam konteks demokrasi, fenomena ini berbahaya karena menciptakan distorsi dalam ruang publik. Jika individu yang bersenjata sulit diajak berdiskusi dengan kedudukan yang sama, maka proses demokratisasi menjadi tidak seimbang. Sebuah demokrasi yang sehat membutuhkan perdebatan yang terbuka dan setara, tanpa ada pihak yang memiliki keunggulan koersif hanya karena mereka memiliki alat kekerasan.

Kesimpulan: Demokrasi Butuh Diskusi Setara, Bukan Dominasi Karena Penguasaan Alat Kekerasan

Demokrasi sejati hanya bisa terwujud ketika semua pihak dapat berbicara dengan kedudukan yang sama. Namun, keberadaan individu yang bersenjata dalam suatu diskusi menciptakan ketimpangan yang sulit diatasi. Dari perspektif psikologi sosial, teori relasi kuasa, hingga paradigma realisme, semua menunjukkan bahwa akses terhadap alat kekerasan memberikan keunggulan yang tidak adil dalam interaksi sosial dan politik.

Jika kita ingin membangun masyarakat yang benar-benar demokratis, maka perlu ada pemisahan yang tegas antara ruang diskusi sipil dan kekuatan koersif militer atau aparat keamanan. Senjata digunakan untuk menjaga keamanan, bukan untuk memengaruhi perdebatan atau menekan kebebasan berbicara. Sebuah masyarakat yang sehat adalah masyarakat di mana argumen ditimbang berdasarkan logika dan moralitas, bukan berdasarkan siapa yang memiliki senjata lebih banyak. Jika kita gagal memahami ini, maka kita berisiko membiarkan demokrasi kita dikendalikan oleh kekuatan yang seharusnya berada di bawah kendali sipil, bukan di atasnya.

Referensi

  • Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.
  • Huntington, S. P. (1957). The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Harvard University Press.
  • Lifton, R. J. (1986). The Nazi Doctors: Medical Killing and the Psychology of Genocide. Basic Books.
  • Milgram, S. (1963). Behavioral Study of Obedience. Journal of Abnormal and Social Psychology, 67(4), 371-378.
  • Morgenthau, H. (1948). Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Knopf.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top