Table of Contents

Mengapa RUU-TNI Berbahaya Bagi Kelangsungan Demokrasi Indonesia?

Mengapa RUU-TNI Berbahaya Bagi Kelangsungan Demokrasi Indonesia?
Table of Contents

Few Insights for Opening

Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU-TNI) yang tengah dibahas telah memicu perdebatan luas. Revisi ini memungkinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga negara, sebuah langkah yang menimbulkan kekhawatiran serius mengenai supremasi sipil dan masa depan demokrasi Indonesia. Dalam demokrasi modern, supremasi sipil atas militer adalah prinsip fundamental yang memastikan bahwa pengambilan keputusan tetap berada di tangan otoritas sipil yang terpilih secara demokratis. Dengan demikian, pertanyaan yang harus dijawab adalah: Apakah RUU-TNI ini akan memperkuat pertahanan negara, atau justru membawa kita kembali ke masa lalu ketika militer memiliki kekuasaan yang berlebihan dalam urusan pemerintahan?

RUU-TNI dan Ancaman terhadap Supremasi Sipil

RUU-TNI mengizinkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di berbagai lembaga, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Langkah ini berpotensi menghidupkan kembali konsep dwifungsi ABRI, yang dalam sejarah Indonesia digunakan sebagai instrumen kontrol politik oleh rezim otoriter Orde Baru.

Dalam studinya, Samuel P. Huntington dalam The Soldier and the State (1957) menegaskan bahwa demokrasi yang stabil membutuhkan “civilian control over the military” (kontrol sipil atas militer) yang ketat. Ketika batas antara ranah sipil dan militer menjadi kabur, profesionalisme TNI sebagai kekuatan pertahanan akan terancam. Dalam banyak negara pasca-otoriter, keberhasilan transisi menuju demokrasi sering kali ditentukan oleh sejauh mana supremasi sipil mampu dikonsolidasikan.

Sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa keterlibatan militer dalam ranah sipil membawa lebih banyak kerugian daripada manfaat. Pada masa Orde Baru, keterlibatan TNI dalam politik menghasilkan pemerintahan yang otoriter, di mana kebebasan sipil ditekan dan keputusan strategis lebih banyak didikte oleh kepentingan militer ketimbang kesejahteraan rakyat.

Militer dan Demokrasi dalam Perspektif Teori Kontemporer

Dalam studi kontemporer tentang demokrasi, ada konsensus bahwa keterlibatan militer dalam politik dan administrasi sipil berpotensi menggerogoti institusi demokratis. Menurut Larry Diamond dalam Developing Democracy: Toward Consolidation (1999), demokrasi yang kuat harus memiliki pemisahan peran yang jelas antara sipil dan militer. Ketika prajurit aktif diizinkan untuk menduduki jabatan sipil, ada dua risiko utama:

  • Pelanggaran Prinsip Akuntabilitas Dalam sistem sipil, pejabat pemerintahan bertanggung jawab kepada publik melalui mekanisme pemilu dan transparansi kebijakan. Namun, ketika militer masuk ke ranah sipil, mekanisme akuntabilitas menjadi lemah karena militer memiliki struktur komando yang berbeda dan tidak tunduk pada mekanisme check and balance yang sama dengan pejabat sipil.
  • Politisasi Militer Huntington berpendapat bahwa netralitas militer adalah prasyarat utama bagi stabilitas demokrasi. Ketika prajurit aktif masuk ke dalam ranah sipil, netralitas ini akan terganggu karena mereka akan memiliki kepentingan politik yang lebih besar. Hal ini dapat menyebabkan militer lebih condong ke arah aktor politik tertentu, mengurangi independensi mereka sebagai institusi pertahanan.

Baca Juga : ‘Racun’ Berbahaya dan Mematikan Bagi Republik Adalah Korupsi

RUU-TNI Bukanlah Pembenaran Agar Militer Lebih Melek Politik!

Pendukung revisi UU TNI sering berargumen bahwa kebijakan ini tetap dalam koridor demokrasi, bahkan membandingkannya dengan sistem di Amerika Serikat dan Inggris, di mana militer tetap memiliki hak untuk memilih dan terlibat dalam beberapa kebijakan sipil. Namun, perbandingan ini tidaklah tepat dan justru menyesatkan.

Di Amerika Serikat, meskipun anggota militer memiliki hak pilih, mereka tidak diperbolehkan menduduki jabatan politik atau administrasi sipil selama masih aktif berdinas. Prinsip ini diterapkan untuk mencegah keterlibatan militer dalam politik praktis dan memastikan bahwa supremasi sipil tetap terjaga. Bahkan, dalam sejarah politik AS, setiap upaya untuk membawa militer ke dalam pemerintahan selalu mendapatkan pengawasan ketat dari parlemen dan masyarakat sipil.

Demikian pula di Inggris, prinsip civilian oversight atas militer dijaga dengan ketat. Militer tidak diizinkan masuk ke ranah birokrasi sipil, dan keputusan strategis sepenuhnya berada di tangan pemimpin politik yang dipilih secara demokratis. Kebijakan yang dibuat pemerintah terkait pertahanan selalu melalui mekanisme pengawasan ketat dari parlemen dan masyarakat.

RUU-TNI yang sedang dibahas di Indonesia justru bertolak belakang dengan praktik demokrasi di negara-negara maju. Jika diterapkan, regulasi ini akan membuka celah bagi militer untuk memperluas peran mereka dalam politik dan administrasi negara, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi liberal yang sehat. Dengan kata lain, jika Indonesia tetap menerapkan kebijakan ini, maka kita sedang menciptakan jalur demokrasi yang unik dan berbeda dari negara-negara demokrasi mapan, tetapi bukan dalam cara yang positifmelainkan dalam cara yang justru merusak institusi demokrasi itu sendiri.

Karena Adanya Ancaman “Non-Militer”, Bukan Berarti Militer Bisa Bebas Mengintervensi Lembaga Sipil dan Merusak Supremasi Sipil

Pendukung RUU-TNI sering merujuk pada UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang menyebutkan bahwa ancaman non-militer harus ditangani oleh lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan, dengan didukung oleh unsur-unsur kekuatan bangsa lainnya. Dari perspektif ini, keterlibatan TNI dalam jabatan sipil dianggap wajar sebagai bentuk partisipasi dalam mengatasi ancaman non-militer seperti bencana alam dan krisis ekonomi. Namun, pemaknaan ini mengabaikan esensi dari supremasi sipil yang seharusnya menjadi landasan utama dalam pengelolaan negara demokratis.

Dalam konteks global, banyak negara yang menghadapi ancaman non-militer tanpa harus melibatkan militer dalam birokrasi sipil. Jepang dan Jerman, misalnya, telah menunjukkan bahwa sistem pertahanan yang kuat justru bergantung pada kemampuan lembaga sipil dalam menangani krisis tanpa keterlibatan militer secara langsung. Negara-negara ini tidak mengizinkan militer untuk berpartisipasi dalam administrasi sipil karena mereka memahami bahwa supremasi sipil adalah pilar utama demokrasi dan harus dipertahankan dengan memperkuat kapasitas institusi sipil yang ada.

Selain itu, membiarkan TNI aktif memasuki sektor-sektor sipil justru akan melemahkan institusi-institusi yang bertanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan sipil. Jika lembaga-lembaga ini kekurangan kapasitas dalam menangani ancaman non-militer, maka solusinya bukanlah dengan memberikan ruang bagi militer untuk mengambil alih, tetapi dengan memperkuat sumber daya, regulasi, dan tata kelola dalam lembaga-lembaga tersebut. Ketika militer terlalu sering dilibatkan dalam urusan sipil, bukan hanya akuntabilitas institusi sipil yang terancam, tetapi juga profesionalisme militer sendiri.

Dari sudut pandang demokrasi, menempatkan prajurit aktif dalam jabatan sipil dapat menimbulkan konflik kepentingan yang serius. Seorang prajurit yang masih aktif berdinas pada dasarnya berada dalam struktur komando yang berbeda dibandingkan pejabat sipil biasa. Keputusan mereka akan lebih banyak dipengaruhi oleh hierarki militer ketimbang asas transparansi dan akuntabilitas sipil. Akibatnya, mekanisme checks and balances yang seharusnya menjadi bagian integral dari tata kelola pemerintahan akan terganggu.

Lebih jauh, dalam pengalaman negara-negara dengan sejarah keterlibatan militer dalam politik, peran tentara dalam pemerintahan sipil sering kali menghasilkan ketidakstabilan dan ketegangan politik yang berkepanjangan. Sejarah Amerika Latin misalnya, menunjukkan bahwa negara-negara yang terlalu mengandalkan militer dalam menangani urusan sipil sering kali mengalami kemunduran demokrasi dan sulit untuk kembali membangun sistem politik yang sehat dan bebas dari intervensi militer. Hal ini menjadi peringatan penting bagi Indonesia agar tidak jatuh ke dalam pola yang sama.

Dengan demikian, penggunaan dalih ancaman non-militer sebagai alasan untuk memperluas peran TNI dalam ranah sipil bukan hanya bertentangan dengan prinsip demokrasi, tetapi juga membuka pintu bagi kembalinya dominasi militer dalam politik. Jika pemerintah benar-benar ingin menghadapi ancaman non-militer secara efektif, maka solusi terbaik adalah memperkuat institusi sipil, bukan memberikan ruang lebih bagi militer untuk merambah wilayah yang bukan tugas utamanya.

Dampak Jangka Panjang bagi Demokrasi Indonesia

Jika RUU-TNI disahkan tanpa pengawasan yang ketat, Indonesia berisiko mengalami militarisasi birokrasi, di mana lembaga-lembaga sipil semakin banyak diisi oleh pejabat militer. Hal ini dapat menghasilkan:

  • Kemunduran Demokrasi Demokrasi Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan sejak reformasi 1998. Jika supremasi sipil dilemahkan dengan mengizinkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, maka kita akan melihat pola yang mirip dengan negara-negara seperti Thailand dan Myanmar, di mana militer memiliki pengaruh yang terlalu besar dalam politik dan pemerintahan.
  • Menurunnya Profesionalisme TNI Salah satu tantangan utama bagi militer yang terlibat dalam administrasi sipil adalah berkurangnya fokus mereka pada tugas utama mereka, yaitu pertahanan negara. Dalam konteks ini, seperti yang diungkapkan oleh Peter D. Feaver dalam Armed Servants: Agency, Oversight, and Civil-Military Relations (2003), militer yang terlalu banyak terlibat dalam politik dan pemerintahan cenderung mengalami penurunan profesionalisme karena perhatian mereka terpecah antara tugas pertahanan dan administrasi sipil.

Kesimpulan: RUU-TNI Harus Dikaji Ulang, Bahkan Bila Perlu Dibatalkan

RUU-TNI yang saat ini dibahas berpotensi melemahkan pilar-pilar demokrasi Indonesia. Dengan membuka ruang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, kita berisiko menghidupkan kembali dwifungsi militer yang telah dihapus melalui reformasi 1998. Berdasarkan pandangan Samuel P. Huntington, Larry Diamond, dan kajian akademik lainnya, supremasi sipil atas militer adalah syarat mutlak bagi demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.

Jika pemerintah serius dalam menjaga stabilitas negara, maka alih-alih memperluas peran militer dalam ranah sipil, solusi yang lebih tepat adalah memperkuat institusi sipil, meningkatkan profesionalisme TNI, dan memastikan bahwa semua kebijakan pertahanan tetap berada dalam kontrol sipil yang demokratis. Demokrasi Indonesia tidak boleh menjadi pengecualian yang menciptakan jalurnya sendiri dengan memperlemah supremasi sipil—karena dalam sejarah, setiap negara yang memberikan ruang lebih bagi militer dalam ranah politik justru berakhir dengan kemunduran demokrasi.

Referensi

Crouch, H. (2010). Political Reform in Indonesia: A Case Study of Military and Civil-       Military Relations. Cornell University Press.

Diamond, L. (1999). Developing Democracy: Toward Consolidation. Johns Hopkins         University Press.

Feaver, P. D. (2003). Armed Servants: Agency, Oversight, and Civil-Military Relations.     Harvard University Press.

Huntington, S. P. (1957). The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-        Military Relations. Harvard University Press.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top