Table of Contents

Geopolitik Tarif (USA) vs Belt Road Initiative (Tiongkok): Bagaimana Indonesia Menyikapinya?

Kebijakan Tarif Amerika
Table of Contents

Dalam beberapa dekade terakhir, ekonomi global tidak hanya berkembang sebagai jalur perdagangan dan investasi, tetapi juga menjadi alat untuk memainkan kekuasaan. Negara-negara besar kini tidak hanya mengandalkan diplomasi formal atau kekuatan militer, tetapi juga menggunakan strategi ekonomi untuk memperluas pengaruhnya. Dua pendekatan menonjol dalam konteks ini datang dari Amerika Serikat dan Tiongkok: kebijakan tarif dan inisiatif Belt and Road.

Kebijakan tarif Amerika cenderung bersifat konfrontatif. Sementara itu, Tiongkok lebih memilih pendekatan pembangunan melalui kerja sama infrastruktur. Keduanya punya tujuan yang sama: membentuk tatanan global yang menguntungkan mereka. Tapi pendekatan seperti apa yang lebih efektif dalam membangun relasi jangka panjang, menciptakan stabilitas, dan memperkuat posisi geopolitik?

Kebijakan Tarif Amerika: Menekan untuk Memenangkan Posisi

Pada awal April 2025, Presiden Donald Trump kembali meluncurkan kebijakan tarif yang cukup mengejutkan. Semua barang impor ke AS dikenakan tarif dasar 10%, dan negara-negara seperti Indonesia, Tiongkok, Vietnam, dan Uni Eropa mendapat tambahan tarif hingga 32%. Alasan utamanya adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari apa yang disebut sebagai praktik perdagangan tidak adil.

Dalam konteks teori hubungan internasional, kebijakan ini mencerminkan pendekatan realis, di mana negara bertindak untuk memperkuat kepentingannya dalam sistem global yang tidak memiliki otoritas tunggal. Strategi ini juga berkaitan dengan konsep coercive diplomacy, yaitu penggunaan tekanan ekonomi untuk memaksa pihak lain menyesuaikan sikapnya.

Masalahnya, strategi semacam ini juga bisa menimbulkan resistensi. Negara-negara yang merasa ditekan bisa mencari alternatif. Dan jika tekanan tarif itu terlalu keras, bisa-bisa malah memicu pembalasan. Dari sisi pelaku pasar, kebijakan seperti ini menciptakan ketidakpastian yang tinggi. Risiko-risiko baru muncul, bukan karena kondisi ekonomi, tetapi karena arah kebijakan politik.

Belt and Road Initiative: Membangun Koneksi Lewat Infrastruktur

Sebagai pembanding, Tiongkok meluncurkan Belt and Road Initiative (BRI) sebagai strategi perluasan pengaruhnya. Berbeda dari pendekatan tarif, BRI berfokus pada pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, kereta cepat, kawasan industri, dan konektivitas digital di berbagai negara. Tujuannya bukan hanya pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperkuat kerja sama jangka panjang.

Menurut teori interdependensi kompleks dari Keohane dan Nye, kerja sama ekonomi bisa menciptakan keterikatan yang membuat konflik menjadi tidak rasional. Pendekatan Tiongkok ini sejalan dengan gagasan tersebut. Lewat proyek infrastruktur, negara-negara yang bekerja sama dengan Beijing menjadi lebih terhubung, secara fisik maupun ekonomi.

Namun pendekatan ini bukan tanpa catatan. Beberapa proyek BRI dikritik karena menimbulkan beban utang yang besar, seperti yang terjadi di Sri Lanka. Selain itu, pelaksanaannya di beberapa negara dinilai kurang transparan. Jadi walau terlihat menjanjikan, pendekatan ini tetap butuh pengawasan agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

Asia Tenggara di Persimpangan Jalan

Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berada di posisi yang cukup kompleks. Di satu sisi, hubungan dengan Amerika Serikat penting untuk investasi dan perdagangan. Di sisi lain, proyek-proyek BRI dari Tiongkok memberi tawaran pembangunan yang konkret. Tapi keduanya hadir dengan kepentingan masing-masing.

Di tengah tensi tarif dari AS, Tiongkok justru mengintensifkan diplomasi ekonominya di kawasan ini. Kunjungan Presiden Xi Jinping ke beberapa negara di Asia Tenggara pada 2025 disertai penandatanganan berbagai kerja sama strategis. Langkah ini memperlihatkan bagaimana BRI menjadi alat untuk menjalin kedekatan yang lebih erat, bukan hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga politik.

Dalam praktiknya, banyak negara mencoba menyeimbangkan hubungan mereka dengan dua kekuatan besar ini. Tantangannya adalah memastikan bahwa keterlibatan dengan satu pihak tidak membuat mereka terlalu bergantung dan kehilangan ruang manuver.

Efektivitas Kedua Pendekatan: Apa yang Perlu Dilakukan Oleh Indonesia

Jika dilihat dari dampaknya, kebijakan tarif Amerika cenderung menciptakan tekanan yang langsung terasa, tetapi tidak selalu menghasilkan kerja sama yang berkelanjutan. Sebaliknya, BRI menciptakan hubungan ekonomi yang lebih dalam, meskipun perlu evaluasi agar proyek yang dijalankan tidak menimbulkan beban berlebih bagi negara mitra.

Indonesia harus aktif membentuk arah kebijakan luar negerinya berdasarkan kepentingan jangka panjang, bukan sekadar merespons tekanan global secara reaktif. Ini membutuhkan peta jalan yang jelas tentang prioritas pembangunan nasional, sektor unggulan, dan mitra strategis yang bisa mendukung tujuan tersebut. Misalnya, dalam konteks Belt and Road Initiative, Indonesia harus bisa menegosiasikan proyek yang benar-benar relevan dengan kebutuhan domestik—seperti transportasi publik yang efisien dan pembangunan kawasan industri yang berkelanjutan—alih-alih menerima proyek dengan beban utang tinggi atau manfaat jangka pendek. Sebaliknya, terhadap tekanan tarif Amerika, strategi diplomasi dagang yang proaktif dan berlandaskan pada diversifikasi pasar ekspor dapat menjadi perisai yang lebih kuat dibanding sikap diam.

Dalam The Globalization Paradox (2011), Dani Rodrik mengingatkan bahwa globalisasi tanpa batas dapat merusak fondasi demokrasi dan kedaulatan kebijakan domestik. Negara-negara yang sepenuhnya membuka diri terhadap tekanan internasional tanpa mempertimbangkan kapasitas institusionalnya akan menghadapi kesulitan dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri. Untuk Indonesia, ini berarti pentingnya memperkuat institusi-institusi ekonomi, dari sistem perpajakan hingga perbankan nasional, agar mampu merespons gangguan eksternal tanpa terlalu bergantung pada intervensi luar. Rodrik juga menekankan bahwa pemerintah yang kuat justru diperlukan agar pasar bisa berfungsi dengan baik—sebuah pandangan yang sering dilupakan dalam debat tentang proteksionisme dan liberalisasi.

Salah satu elemen penting dalam merancang strategi nasional yang tangguh adalah penguatan policy coherence. Ini mencakup koordinasi yang selaras antara kebijakan perdagangan, investasi, pembangunan industri, dan kebijakan luar negeri. Tanpa sinergi antar-kementerian dan antar-lembaga, kebijakan Indonesia akan mudah terfragmentasi dan kehilangan arah saat tekanan internasional meningkat. Contohnya, saat kebijakan tarif Amerika mengganggu ekspor manufaktur, maka respons yang diperlukan bukan hanya dari Kementerian Perdagangan, tetapi juga dari sektor industri, keuangan, dan luar negeri secara bersamaan. Penguatan kapasitas teknokratis dan mekanisme early warning policy—seperti yang dijalankan oleh Singapura dan Korea Selatan—menjadi teladan yang layak dipertimbangkan.

Untuk menjadi aktor yang tidak sekadar bereaksi terhadap sistem global, Indonesia perlu memperkuat kapasitas diplomasi ekonominya secara teknis. Ini bisa dimulai dengan membentuk task force lintas sektor yang khusus menangani isu geoekonomi strategis, termasuk implikasi dari kebijakan tarif, proyek infrastruktur global seperti BRI, dan perjanjian dagang multilateral. Di level praktis, Indonesia juga dapat mengembangkan Geopolitical Risk Unit di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian atau Bappenas, yang bertugas melakukan horizon scanning terhadap dinamika global dan menyusun skenario kebijakan berbasis data. Selain itu, pembentukan negotiation teams permanen yang dilatih dengan spesialisasi tertentu (seperti perdagangan digital, teknologi strategis, atau iklim dan energi) dapat memperkuat posisi Indonesia dalam forum internasional. Dengan pendekatan seperti ini, Indonesia tidak hanya menjaga kedaulatan kebijakan domestiknya, tapi juga ikut serta dalam membentuk arsitektur ekonomi global dengan strategi yang terencana dan berbasis analisis.

Kesimpulan: Bukan Soal Siapa Kuat, Tapi Siapa yang Konsisten

Amerika dengan tarifnya dan Tiongkok dengan infrastrukturnya, keduanya sedang memainkan peran besar dalam lanskap geopolitik global. Tapi dalam era seperti sekarang, pendekatan yang menciptakan ketergantungan positif, dialog jangka panjang, dan pembangunan yang nyata, tampaknya punya daya tarik lebih besar dibanding pendekatan yang cenderung menekan.

Bagi negara-negara berkembang, terutama di Asia Tenggara, tantangan terbesarnya bukan memilih salah satu pihak, tapi bagaimana tetap menjaga kedaulatan kebijakan ekonomi sambil tetap terhubung dengan dunia. Dalam hal ini, kebijakan luar negeri dan ekonomi tidak bisa dipisahkan. Apa pun yang dipilih, harus berpijak pada kepentingan jangka panjang rakyat dan pembangunan nasional.

Referensi:

  • George, A. L. (1991). Forceful Persuasion: Coercive Diplomacy as an Alternative to War. United States Institute of Peace.
  • Keohane, R. O., & Nye, J. S. (1977). Power and Interdependence: World Politics in Transition. Little, Brown.
  • Waltz, K. N. (1979). Theory of International Politics. McGraw-Hill.
  • World Bank (2021). Belt and Road Economics: Opportunities and Risks of Transport Corridors.
  • IMF (2024). Trade Wars and Recovery: Global Patterns Post-Tariff Policy Shifts.
  • Carnegie Endowment for International Peace (2023). How Has China’s Belt and Road Initiative Impacted Southeast Asia?

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top