Pada 18 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami goncangan hebat hingga menyebabkan trading halt, sebuah mekanisme penghentian sementara perdagangan saham yang diaktifkan ketika pasar mengalami kejatuhan drastis. Dalam teori pasar modal, trading halt sering dianggap sebagai langkah protektif untuk meredakan kepanikan sesaat dan memberikan ruang bagi investor untuk berpikir ulang sebelum melanjutkan transaksi. Namun, jika kita melihat lebih dalam, kejadian ini bukan sekadar gejolak pasar biasa. Ini adalah refleksi dari bencana politik yang lebih besar: kebijakan ekonomi yang buruk, ketidakpastian hukum, serta ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengelola stabilitas keuangan dan investasi di Indonesia.
Penting untuk dicatat bahwa trading halt yang terjadi kali ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Pada tahun 2020, BEI juga menerapkan trading halt ketika pandemi COVID-19 melanda dunia dan menyebabkan kepanikan di pasar keuangan global. Namun, situasi saat ini sangat berbeda. Jika pada tahun 2020 penyebabnya adalah faktor eksternal berupa pandemi yang melumpuhkan aktivitas ekonomi global, kali ini pemicunya adalah ketidakpastian politik dan arah kebijakan ekonomi pemerintah yang semakin tidak menentu. Dengan kata lain, dampak yang terjadi saat ini lebih mengkhawatirkan karena berasal dari instabilitas internal yang seharusnya bisa dikelola dengan lebih baik oleh pemerintah.
Saat pasar saham ambruk, pertanyaannya bukan hanya kenapa IHSG turun drastis? Tetapi mengapa kepercayaan investor begitu mudah terkikis? Mengapa kapital pasar yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi justru tersendat akibat kebijakan yang kacau? Artikel ini akan mengulas bagaimana trading halt yang terjadi bukan hanya sekadar fenomena ekonomi, tetapi sebuah dampak langsung dari ketidakseimbangan politik dan kebijakan yang semakin meresahkan.
Market Stress dan Kebijakan yang Menghantam Kepercayaan Investor
Dalam ekonomi, sentimen pasar adalah segalanya. Investor tidak hanya mengandalkan fundamental perusahaan dalam mengambil keputusan, tetapi juga membaca arah kebijakan politik dan stabilitas ekonomi suatu negara. Ketika sebuah negara memberikan sinyal ketidakpastian, baik dari sisi kebijakan fiskal, regulasi investasi, hingga kepastian hukum, investor akan berpikir dua kali sebelum menanamkan modal mereka.
Sejak awal 2025, kebijakan ekonomi Indonesia tampak semakin tidak menentu. Program-program pemerintah yang terkesan ambisius tanpa perhitungan matang seperti proyek makan siang gratis senilai Rp450 triliun per tahun serta kebijakan fiskal yang mulai mengarah pada peningkatan defisit anggaran telah menimbulkan ketakutan di kalangan investor. Dalam teori ekonomi makro, pengeluaran pemerintah yang besar tanpa sumber pendanaan yang jelas akan memicu kekhawatiran terhadap stabilitas fiskal dan inflasi. Akibatnya, pasar merespons dengan cara yang paling rasional: kapital keluar, harga saham jatuh, dan kepercayaan runtuh.
Laporan dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bahkan telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, menandakan ketidakpastian yang semakin nyata. Sinyal ini diperburuk oleh kebijakan yang berubah-ubah, terutama dalam sektor investasi dan perpajakan. Investor asing maupun domestik kini ragu: apakah Indonesia masih merupakan tempat yang layak untuk menanamkan modal jangka panjang?
Baca Juga: Mengapa RUU-TNI Berbahaya Bagi Kelangsungan Demokrasi Indonesia?
Survei terbaru dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan bahwa mayoritas responden menilai kebijakan ekonomi pemerintahan saat ini tidak efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Survei ini mencerminkan persepsi pelaku pasar terhadap ketidakpastian arah kebijakan, terutama dalam hal konsistensi regulasi dan keberpihakan terhadap dunia usaha. Banyak responden menyebut adanya ketimpangan antara janji-janji politik dan pelaksanaan kebijakan ekonomi yang pada akhirnya menurunkan kredibilitas pemerintah di mata investor.
Implikasi dari temuan ini sangat signifikan. Ketika mayoritas responden dalam survei LPEM FEB UI tidak yakin dengan efektivitas kebijakan ekonomi pemerintah, artinya kepercayaan publik—termasuk investor domestik dan asing—sedang berada di titik yang rapuh. Dalam dunia investasi, persepsi adalah realitas. Ketika persepsi memburuk, maka ekspektasi negatif pun menyebar. Survei ini dengan sendirinya memperkuat analisis bahwa trading halt bukan hanya gejala pasar yang teknis, melainkan sebuah tanda bahwa kepercayaan terhadap tata kelola ekonomi negara sedang mengalami krisis serius.
Dampak Sentimen Negatif: Lari dari Pasar Indonesia
Ketika investor kehilangan kepercayaan, mereka tidak hanya berhenti berinvestasi, tetapi juga menarik modalnya dari pasar. Inilah yang terjadi saat IHSG mengalami koreksi besar hingga 5% dalam satu hari, yang akhirnya memicu trading halt. Saham-saham besar seperti PT DCI Indonesia (DCII) dan PT Barito Renewables Energy (BREN) terkena auto rejection bawah (ARB) 20%, mempercepat aksi jual besar-besaran yang semakin memperburuk situasi.
Dalam dunia ekonomi politik, ini adalah sinyal yang sangat buruk. Trading halt dalam konteks seperti ini bukanlah tanda perlindungan pasar, melainkan alarm keras bahwa kebijakan ekonomi yang diterapkan gagal menciptakan rasa aman bagi para pelaku pasar. Jika kebijakan ekonomi berjalan sehat, mengapa pasar bereaksi seolah-olah sedang menghadapi krisis besar?
Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin nyata—turun hingga 2% terhadap dolar AS dalam tiga bulan pertama tahun ini—menambah tekanan pada investor asing yang sudah mulai mengalihkan dananya ke pasar yang lebih stabil seperti Singapura dan Vietnam. Capital flight ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya faktor global, tetapi ada yang salah dalam kebijakan ekonomi domestik.
IHSG dan Krisis Kepercayaan: Efek Domino yang Tak Terhindarkan
Di tengah situasi ini, kita perlu melihat dari perspektif lebih luas: trading halt ini hanyalah puncak gunung es dari krisis kepercayaan yang lebih dalam. Dalam ekonomi, kepercayaan adalah mata uang yang lebih berharga daripada sekadar angka dalam laporan keuangan. Ketika kepercayaan hancur, efek domino mulai terlihat:
- Investor menjual aset mereka lebih cepat, memicu volatilitas pasar yang lebih tinggi.
- Perusahaan yang bergantung pada pendanaan pasar modal mengalami kesulitan mendapatkan likuiditas.
- Sektor riil mulai terdampak, karena penurunan IHSG biasanya beriringan dengan ketidakpastian ekonomi yang lebih luas.
Menurut teori Expectation-Driven Market, ketika pasar percaya bahwa kebijakan pemerintah tidak bisa diandalkan, mereka tidak hanya bereaksi pada realitas yang ada, tetapi juga pada potensi risiko di masa depan. Inilah yang membuat pasar terus mengalami tekanan meskipun tidak ada krisis fundamental secara langsung. Ketakutan akan intervensi kebijakan yang tidak menentu menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Kesimpulan: Trading Halt Bukan Hanya Masalah Teknis, Tetapi Tanda Awal Bencana Politik
Trading halt yang terjadi bukan sekadar masalah teknis dalam mekanisme pasar modal, tetapi sebuah indikasi bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis kepercayaan akibat kebijakan yang tidak stabil. Investor tidak takut dengan fluktuasi pasar—itu adalah bagian dari risiko investasi. Yang mereka takutkan adalah ketidakpastian yang diciptakan oleh pemerintah sendiri.
Jika kepercayaan terhadap pasar tidak segera dipulihkan, maka kejatuhan IHSG ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar: penurunan daya tarik investasi jangka panjang, stagnasi ekonomi, dan krisis kepercayaan terhadap pengelolaan negara. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk mengembalikan kepercayaan pasar, bukan dengan retorika, tetapi dengan kebijakan ekonomi yang jelas, kredibel, dan konsisten. Karena dalam dunia pasar modal, ketidakpastian adalah musuh utama dari pertumbuhan.