Demokrasi Memang Sudah Maju. Tetapi Masih Ada yang Ganjil
Kita hidup di dunia yang mengagungkan demokrasi. Ia dipuja sebagai puncak pencapaian politik umat manusia—simbol dari kebebasan, keadilan, dan partisipasi rakyat. Bahkan Francis Fukuyama menyatakan bahwa demokrasi liberal adalah bentuk akhir dari evolusi ideologi politik manusia dan bentuk akhir dari pemerintahan manusia dalam bukunya yang terkenal berjudul “The End of History and the Last Man”, yang diterbitkan pada tahun 1992.
Namun di balik retorika itu, banyak yang mulai merasa demokrasi tidak sungguh-sungguh mewakili suara rakyat, apalagi memperjuangkan kesejahteraan mayoritas. Rakyat boleh memilih, tapi jarang merasa berdaulat. Boleh bicara, tapi tak banyak yang mendengar. Demokrasi, dalam bentuk yang kita kenal hari ini, lebih sering berfungsi sebagai mekanisme teknis penggantian elit daripada alat pembebasan kolektif.
Keganjilan-keganjilan ini bisa kita temukan saat inii: pemilu digelar, tapi ketimpangan tetap ada bahkan makin menjadi-jadi. Parlemen berganti, tapi kebijakan masih dikuasai oleh segelintir orang dan kepentingan korporasi. Upah murah, eksploitasi buruh, hingga privatisasi layanan dasar berjalan tanpa banyak perlawanan institusional. Demokrasi liberal modern terlalu sering disandarkan pada prosedur, tapi miskin substansi. Dalam konteks inilah, Marxisme dan beragam tesis ideologi kiri hadir bukan untuk meruntuhkan demokrasi, melainkan untuk menyempurnakannya—memberinya nafas sosial yang selama ini diabaikan.
Marxisme Menolak Demokrasi yang Cuma di Atas Kertas
Marxisme tidak pernah anti-demokrasi. Justru sebaliknya. Karl Marx dan Friedrich Engels percaya pada demokrasi, tapi dengan syarat: demokrasi yang tidak hanya memberi hak suara, tapi juga hak atas penghidupan yang layak. Bagi mereka, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi adalah tipuan. Dalam sistem kapitalisme, katanya, hak pilih rakyat adalah semu, karena semua opsi yang ditawarkan dikendalikan oleh kelas yang sama: mereka yang menguasai alat produksi.
Jika demokrasi hanya memberi hak suara kepada rakyat, tapi tidak menyentuh persoalan siapa yang menguasai ekonomi, maka demokrasi itu cacat sejak lahir. Kita bisa punya pemilu, tapi tetap hidup dalam ketergantungan ekonomi yang membuat pilihan politik kita tidak lebih dari formalitas. Kita bisa punya partai, tapi isi parlemennya tetap orang-orang dari kelas ekonomi yang sama. Demokrasi, dalam versi ini, menjadi perpanjangan tangan kapitalisme, bukan pengimbangnya.
Marxisme juga melihat bahwa negara, meski disebut “netral” dalam banyak teori politik liberal, sebenarnya adalah instrumen kelas penguasa. Negara tidak berdiri di atas semua kepentingan, tetapi dibentuk untuk menjaga relasi produksi yang sudah ada. Maka, jika demokrasi dijalankan dalam kerangka negara kapitalis, ia akan selalu ditarik oleh kepentingan modal, dan bukan oleh kepentingan mayoritas rakyat. Di sinilah Marxisme membantu kita membaca struktur demokrasi bukan sebagai sistem yang netral, tapi sebagai arena pertarungan kelas yang terus berlangsung.
Menurut Marxisme, demokrasi sejati adalah ketika rakyat punya suara dan juga daya. Bukan hanya memilih siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi juga bisa menentukan ke mana arah sumber daya, siapa yang mengendalikan tanah, air, dan pabrik, dan bagaimana kerja diatur supaya manusia tidak terus-menerus dieksploitasi. Marxisme tidak menawarkan penggulingan demokrasi, tapi perluasan radikal maknanya: dari hak untuk memilih, menjadi hak untuk menentukan arah ekonomi dan sosial bersama.
Baca juga: Mengapa Demonstrasi Penting untuk Menciptakan Demokrasi yang Sehat?
Demokrasi Tak Cukup Hanya Institusi, Tapi Juga Kesadaran
Antonio Gramsci, seorang pemikir kiri dari Italia, membawa Marxisme ke arah yang lebih dalam: ke arah budaya dan kesadaran. Ia menyebut bahwa kelas yang berkuasa tidak hanya mengendalikan ekonomi dan politik, tapi juga pikiran dan perasaan rakyat lewat apa yang ia sebut sebagai hegemoni. Ini terjadi lewat sekolah, media, agama, bahkan gaya hidup.
Menurut Gramsci, salah satu alasan kenapa banyak orang tidak melawan ketimpangan adalah karena mereka tidak merasa sedang ditindas. Mereka tumbuh dalam sistem yang mengajarkan bahwa kemiskinan adalah kesalahan pribadi, bahwa kerja keras pasti membuahkan hasil, dan bahwa kaya-miskin adalah bagian dari “takdir sosial”. Padahal, dalam banyak kasus, sistem yang mereka hidupi sudah tidak adil sejak awal.
Karena itu, demokrasi tidak akan pernah sehat jika rakyat tidak kritis terhadap kenyataan. Demokrasi bukan cuma soal institusi—bukan cuma tentang KPU, pemilu, atau DPR—tetapi soal sejauh mana rakyat sadar bahwa mereka bisa dan berhak mengubah keadaan. Kesadaran ini tidak bisa dibentuk hanya dalam masa kampanye, tapi harus dibangun lewat pendidikan yang membebaskan dan media yang tidak hanya menghibur tapi juga mencerdaskan.
Demokrasi Bisa Mati dalam Kesibukan Warga Negara yang Kosong
Sekelompok pemikir kiri dari Jerman seperti Adorno, Marcuse, dan Horkheimer – kemudian dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) , memberikan kritik tajam terhadap masyarakat modern yang terlalu sibuk tetapi kehilangan arah berpikir. Mereka menyebut bahwa dalam masyarakat industri kapitalis, warga negara dijauhkan dari isu-isu penting dan dibuat sibuk dengan konsumsi, hiburan, dan pekerjaan rutin yang melelahkan.
Marcuse bahkan menyebut kita hidup dalam masyarakat “satu dimensi”. Warga tidak punya waktu, energi, atau keberanian untuk membayangkan kehidupan yang lebih baik, karena mereka sudah dikondisikan untuk merasa cukup dengan apa yang ada. Politik berubah menjadi tontonan. Pemilu jadi ajang hiburan. Demokrasi dikecilkan menjadi soal siapa yang menang dan siapa yang kalah, bukan soal bagaimana kita membangun keadilan dan martabat bersama.
Mazhab Frankfurt mengajak kita untuk melihat bahwa jika demokrasi tidak mampu membuat warga berpikir secara kritis dan mandiri, maka ia akan kehilangan kekuatannya. Pendidikan politik dan ruang berpikir alternatif harus dibuka. Demokrasi perlu disambungkan kembali dengan kehidupan nyata rakyat, bukan hanya dengan agenda elite dan penguasa.
Baca juga: Mengapa RUU-TNI Berbahaya Bagi Kelangsungan Demokrasi Indonesia?
Mengapa Demokrasi Butuh Ide Kiri?
Gagasan-gagasan dari Marxisme, Gramsci, dan Mazhab Frankfurt tidak dimaksudkan untuk menggantikan demokrasi. Tapi justru untuk menyelamatkannya dari kebuntuan. Demokrasi tanpa kesadaran kelas, tanpa pemahaman tentang hegemoni budaya, dan tanpa daya kritis masyarakat akan menjadi sistem yang hanya kuat di atas kertas, tapi rapuh dalam kenyataan.
Ideologi kiri mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak boleh berhenti pada prosedur. Ia harus bergerak menuju keadilan sosial yang nyata: upah layak, pendidikan gratis, layanan kesehatan universal, dan kontrol rakyat terhadap sumber daya publik. Tanpa itu semua, demokrasi hanya akan jadi alat melegitimasi sistem yang sudah tidak adil sejak awal.
Kita tidak sedang berbicara soal revolusi kekerasan atau menggulingkan sistem. Yang kita butuhkan adalah memperluas demokrasi—membawanya dari gedung parlemen ke dalam pabrik, dari layar debat politik ke dalam dapur buruh, dari media sosial ke lapangan tempat petani kehilangan tanahnya. Demokrasi butuh perluasan radikal maknanya: dari hak untuk memilih, menjadi hak untuk menentukan arah ekonomi dan sosial bersama.
Demokrasi Sejati Tidak Takut Dikritik
Demokrasi yang matang adalah demokrasi yang tidak takut dikritik. Demokrasi sejati adalah demokrasi yang terus membuka ruang bagi ide-ide alternatif, termasuk dari ideologi kiri. Karena ide-ide ini lahir dari sejarah panjang perjuangan rakyat, dari jeritan para buruh, dari amarah petani, dari kegelisahan mahasiswa, dan dari keinginan manusia untuk hidup lebih adil.
Marxisme dan ideologi kiri lainnya bukan mimpi lama yang usang. Ia adalah pengingat keras bahwa demokrasi bukan hanya soal siapa yang menang, tapi siapa yang didengar. Bukan hanya soal prosedur, tapi juga keadilan. Dan bukan hanya soal perubahan lima tahunan, tapi perubahan yang menyentuh isi perut, harga sewa rumah, biaya berobat, dan makna hidup bersama. Hari ini, di Hari Buruh, mari kita ingat: demokrasi tidak akan tumbuh di tanah yang penuh ketimpangan. Dan tak ada demokrasi sejati tanpa keberanian untuk mengubah sistem yang tak lagi adil.