Optimisme Berlebihan, Jalan Menuju Kekecewaan Kolektif
Di tengah dunia modern yang penuh dengan narasi positif—dari kampanye politik hingga slogan pembangunan nasional—optimisme sering kali diangkat sebagai satu-satunya sikap yang layak diadopsi oleh warga negara. Kita diajak untuk “percaya”, “bersabar”, dan “mendukung” semua program yang diluncurkan pemerintah, seolah-olah semua kebijakan lahir dari niat murni dan rencana matang tanpa cela. Namun, jika kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah realitas di lapangan selalu seindah narasi yang dibangun? Di sinilah pesimisme, dalam arti yang sehat (baca: rasional dan well-informed), menjadi penting. Ia bukan sekadar bentuk keputusasaan atau sinisme, melainkan mekanisme pertahanan intelektual yang membuat warga negara tetap kritis, waspada, dan berani mempertanyakan kekuasaan.
Melalui pemikiran Frédéric Bastiat, seorang ekonom dan filsuf politik abad ke-19, kita diajak memandang bahwa pesimisme yang sehat adalah fondasi utama demokrasi yang berfungsi. Tanpa kemampuan meragukan dan mempertanyakan, warga negara akan mudah ditipu, dikendalikan, dan akhirnya dijauhkan dari tujuan utamanya: menjaga kekuasaan tetap tunduk pada kepentingan publik.
Sikap skeptis terhadap janji-janji pemerintah adalah sebuah keharusan, bukan pilihan moral semata. Bastiat memahami bahwa dalam setiap interaksi antara kekuasaan dan rakyat, selalu ada potensi manipulasi: bahwa apa yang tampak di permukaan tidak selalu menunjukkan realitas di balik layar. Dengan demikian, memiliki sedikit pesimisme dalam menyikapi setiap kebijakan bukanlah bentuk ketidaksetiaan terhadap negara, melainkan bentuk paling tinggi dari kepedulian terhadap nasib bersama.
Frédéric Bastiat: Antara Skeptisisme dan Kejernihan Melihat Realitas
Bastiat dikenal melalui karya-karyanya seperti The Law dan What Is Seen and What Is Not Seen, di mana ia dengan tajam mengkritik berbagai bentuk intervensi pemerintah yang tampak menguntungkan di permukaan tetapi menyembunyikan kerusakan di baliknya. Salah satu gagasan intinya adalah bahwa manusia sering terjebak hanya pada apa yang tampak (what is seen), tetapi gagal melihat apa yang tidak tampak (what is not seen)—konsekuensi tersembunyi dari setiap kebijakan.
Di sinilah pesimisme Bastiat memainkan peran vital. Ia mengajarkan kita bahwa sebagai warga negara, kita harus berani menahan diri untuk tidak langsung terpesona oleh janji-janji kebijakan. Kita perlu mempertanyakan: siapa yang sebenarnya diuntungkan? Apa dampak jangka panjangnya? Siapa yang akan membayar biayanya?
Sikap pesimistis bukan berarti sinis tanpa arah, melainkan pengakuan bahwa kekuasaan—baik disengaja atau tidak—sering kali menciptakan konsekuensi tak terduga yang merugikan publik. Bagi Bastiat, warga negara yang baik bukanlah mereka yang menelan semua pidato politik mentah-mentah, melainkan mereka yang curiga dengan penuh tanggung jawab. Baginya, ancaman terbesar bagi kebebasan bukan hanya datang dari tirani kekerasan, tetapi juga dari tirani yang dibungkus dalam slogan-slogan kesejahteraan dan janji-janji populis.
Baca juga: Bonus Demografi Indonesia? Mustahil Direalisasikan Kalau Demografinya Tidak Diberdayakan
Optimisme yang Dipaksakan Sebagai ‘Kewajiban Moral’ adalah Candu Berbahaya Bagi Demokrasi Modern
Hari ini, banyak sistem politik mendorong warga untuk selalu “percaya” pada pemerintah. Setiap program dijual dengan slogan positif: “bantuan untuk semua,” “pembangunan merata,” “ekonomi untuk rakyat.” Narasi seperti ini membangun suasana optimisme yang berlebihan, bahkan ketika fakta-fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.
Di banyak negara demokratis modern, termasuk Indonesia, merawat budaya optimisme politiknya dengan sangat serius. Kampanye-kampanye politik, iklan pemerintah, bahkan narasi media arus utama sering kali menampilkan pemerintah sebagai pelayan rakyat yang tak pernah salah, penuh inovasi, dan selalu mengutamakan kepentingan umum. Ini menciptakan budaya optimisme terprogram, di mana kritik dipandang sebagai tindakan anti-pembangunan, dan skeptisisme dianggap sebagai hambatan terhadap kemajuan bangsa. Akibatnya, banyak warga menjadi pasif secara politik, percaya bahwa apapun yang terjadi pasti “sudah diurus dengan baik oleh pemerintah”.
Dalam sudut pandang Bastiat, fenomena ini adalah kegagalan mendasar dalam mendidik warga negara sebagai penjaga kekuasaan. Ketika masyarakat luas kehilangan kecakapan untuk bertanya, mempertanyakan, dan meragukan, maka sistem demokrasi yang sehat mulai melemah dari dalam. Karena itulah pesimisme yang sehat menjadi penting—bukan untuk menghalangi perubahan, tetapi untuk memastikan bahwa perubahan tersebut sungguh bermuara pada kesejahteraan umum, bukan sekadar melanggengkan kepentingan politik tertentu. Dalam demokrasi, optimisme harus dipilih secara sadar berdasarkan bukti, bukan dipaksakan sebagai kewajiban moral.
Optimisme semacam ini berbahaya. Hal ini membuat warga kehilangan kecakapan kritis, menumpulkan insting untuk bertanya, dan pada akhirnya menyerahkan terlalu banyak kepercayaan kepada penguasa. Hasilnya? Kebijakan yang buruk tetap dijalankan tanpa resistensi publik yang berarti.
Bastiat mengingatkan: ketika satu kelompok diberi keuntungan lewat kebijakan tertentu (subsidi, proteksi industri, proyek pembangunan megah), pasti ada kelompok lain yang menanggung kerugiannya, biasanya tanpa sadar. Apa yang tampak sebagai “pembangunan” mungkin berarti “pembebanan” di tempat lain. Pesimisme di sini berfungsi sebagai rem, sebagai alat kontrol alami yang melindungi warga negara dari janji-janji kosong.
Pesimisme sebagai Alat Baca Kebijakan
Mari ambil contoh sederhana: saat pemerintah mengumumkan program infrastruktur besar-besaran. Optimis mungkin akan langsung memuji: “Luar biasa, ini pasti mendorong pertumbuhan!” Tapi pendekatan ala Bastiat mengajarkan kita bertanya lebih dalam: Infrastruktur apa? Untuk siapa? Dengan biaya berapa? Dan siapa yang menanggung utangnya?
Dalam What Is Seen and What Is Not Seen, Bastiat menjelaskan tentang “penghancuran jendela”—sebuah analogi tentang betapa mudahnya kita tertipu oleh aktivitas ekonomi yang tampak. Memperbaiki jendela yang pecah memang menciptakan pekerjaan bagi tukang kaca, tapi sumber daya yang digunakan untuk memperbaiki jendela itu seharusnya bisa digunakan untuk menciptakan sesuatu yang baru, bukan sekadar mengganti yang rusak. Artinya, tidak semua aktivitas ekonomi yang terlihat positif adalah benar-benar produktif.
Dengan lensa ini, pesimisme bukan sikap anti-pembangunan, melainkan kepekaan untuk menghitung biaya kesempatan (opportunity cost) dari setiap kebijakan. Ini menuntut warga untuk aktif bertanya: “Apakah sumber daya publik digunakan secara optimal? Ataukah hanya untuk memperkaya segelintir orang yang sudah dekat dengan kekuasaan?”
Baca juga: Mengapa Demonstrasi Penting untuk Menciptakan Demokrasi yang Sehat?
(Well)-Informed Pessimism: Melawan Kultur Tunduk
Salah satu bahaya besar dalam politik modern adalah berkembangnya kultur tunduk, yaitu kebiasaan menerima semua keputusan pemerintah tanpa pertanyaan. Banyak warga percaya bahwa mempertanyakan kebijakan berarti menjadi anti-pemerintah atau bahkan pengkhianat bangsa. Padahal dalam sistem demokrasi, sikap kritis justru adalah wujud paling nyata dari cinta negara. Bastiat mengajarkan bahwa pesimisme yang well-informed justru menjaga agar pemerintah tetap berada di jalur pelayanan publik, bukan beralih menjadi alat untuk melayani kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
(well-infomed) Pesimisme yang kritis berarti selalu menganggap bahwa setiap kebijakan mengandung potensi bias, potensi salah hitung, dan potensi moral hazard. Ini mendorong partisipasi warga dalam proses politik, baik melalui pengawasan, kritik di ruang publik, maupun keterlibatan dalam organisasi masyarakat sipil. Dalam negara demokrasi modern, kekuasaan yang diawasi adalah kekuasaan yang lebih cenderung berpihak pada rakyat. Dan pengawasan yang efektif hanya mungkin terjadi jika warga berani skeptis, berani pesimis, dan berani bertanya.
Pesimisme sebagai Benteng Demokrasi
Dalam dunia di mana berita palsu, framing media, dan manipulasi data semakin canggih, pesimisme menjadi semacam benteng terakhir demokrasi. Pesimisme memaksa warga untuk mencari verifikasi, bukan hanya konsumsi informasi. Ia membuat kita skeptis terhadap angka-angka statistik yang tidak disertai konteks. Ia mengajari kita bahwa realitas lebih kompleks daripada angka pertumbuhan ekonomi atau jumlah proyek yang diresmikan.
Demokrasi yang sehat hanya bisa berdiri di atas dasar masyarakat yang berani berkata: “tunjukkan bukti, bukan hanya janji.” Pesimisme mengembalikan fungsi rakyat sebagai pengawas kekuasaan, bukan sekadar penonton yang pasrah.Seperti yang sering ditegaskan Bastiat, kekuasaan tanpa pengawasan akan selalu mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Dan hanya warga negara yang pesimis dalam menghadapi kekuasaan yang mampu mencegahnya.
Kesediaan pemerintah untuk menerima kritik sebenarnya juga disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya pada acara puncak perayaan Hari Ulang Tahun Ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center (SICC), Jawa Barat, Sabtu (15/2/2025). Prabowo yang juga menjabat sebagai Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra berpidato di hadapan para kader Gerindra, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, para menteri dan wakil menteri Kabinet Merah Putih, serta ketua umum dan pimpinan semua partai politik (parpol) yang ada di Indonesia.
Baca juga: ‘Racun’ Berbahaya dan Mematikan Bagi Republik Adalah Korupsi
Menjadi Warga Negara yang Pesimis Adalah Sebuah Tindakan Cinta Tanah Air
Ironisnya, dalam banyak budaya politik, warga yang mengkritik pemerintah dianggap anti-nasionalis. Ini adalah kekeliruan besar. Justru warga yang berani mempertanyakan, membongkar, dan mengoreksi kekuasaan adalah warga yang paling peduli terhadap nasib bangsa.Mereka sadar bahwa masa depan negara tidak boleh diserahkan begitu saja kepada siapa pun, tak peduli seberapa meyakinkan retorikanya.
Dalam semangat Bastiat, kita harus berani mencintai negara kita dengan sikap skeptis. Kita harus berani menunjukkan kelemahan dalam sistem, kesalahan dalam perencanaan, dan kebohongan dalam janji. Pesimisme seperti ini bukan tanda tidak percaya diri, melainkan bentuk tertinggi dari tanggung jawab publik. Menjadi pesimis bukan berarti menolak perubahan, tetapi memastikan bahwa perubahan yang kita dapatkan sungguh perubahan ke arah yang lebih baik.
Pesimisme yang kritis dan rasional berarti selalu menganggap bahwa setiap kebijakan mengandung potensi bias, potensi salah hitung, dan potensi moral hazard. Ini mendorong partisipasi warga dalam proses politik, baik melalui pengawasan, kritik di ruang publik, maupun keterlibatan dalam organisasi masyarakat sipil. Dalam negara demokrasi modern, kekuasaan yang diawasi adalah kekuasaan yang lebih cenderung berpihak pada rakyat. Dan pengawasan yang efektif hanya mungkin terjadi jika warga berani skeptis, berani pesimis, dan berani bertanya.
Menghidupkan Semangat Bastiat di Era Kini
Menghadapi dunia kontemporer yang semakin kompleks, dengan informasi yang mudah dimanipulasi dan janji-janji politik yang semakin bombastis, semangat Bastiat untuk skeptisisme menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Kita hidup di era di mana proyek-proyek besar bisa diumumkan dalam satu cuitan, di mana kebijakan bisa dipasarkan lebih cepat daripada dipahami secara kritis. Dalam situasi seperti ini, kemampuan untuk mempertahankan pesimisme yang sehat bukan hanya berguna, tapi menjadi kebutuhan mendesak untuk menjaga integritas politik dan kesejahteraan masyarakat.
Menerapkan semangat Bastiat berarti berani menanyakan hal-hal yang tidak populer, berani menuntut transparansi di setiap langkah, dan berani menolak narasi yang dibungkus rapi tanpa dasar bukti. Ini berarti mendidik diri sendiri dan orang lain untuk membaca kebijakan dengan skeptisisme yang membangun, bukan sekadar dengan kepercayaan buta. Demokrasi yang matang lahir bukan dari masyarakat yang pasrah, tapi dari masyarakat yang cerdas, penuh pertanyaan, dan waspada terhadap godaan simplifikasi politik.
Optimisme Boleh, Tapi Pesimisme yang ‘well-informed’ Wajib
Optimisme tentu diperlukan untuk menjaga harapan dan mendorong perubahan. Tapi tanpa ditopang pesimisme yang sehat, optimisme bisa berubah menjadi candu berbahaya yang membuat kita abai terhadap risiko, kerentanan, dan manipulasi. Pesimisme dalam tradisi Bastiat bukanlah sikap menyerah, melainkan bentuk paling tinggi dari kesadaran politik. Ini adalah seruan untuk selalu bertanya, selalu curiga, dan selalu menjaga jarak kritis dari kekuasaan.
Menjadi warga negara yang baik bukan berarti selalu mendukung pemerintah apapun yang terjadi. Menjadi warga negara yang baik berarti berani mempersoalkan kekuasaan, memperhitungkan semua risiko, dan mempertahankan akal sehat di tengah banjir propaganda. Dalam dunia seperti ini, pesimisme bukan kelemahan, melainkan kekuatan.
Referensi:
- Bastiat, F. (1850). The Law.
- Bastiat, F. (1848). What Is Seen and What Is Not Seen.
- Hayek, F. A. (1944). The Road to Serfdom.
- Sowell, T. (1995). The Vision of the Anointed: Self-Congratulation as a Basis for Social Policy.