Demokrasi dan Demonstrasi: Dua Ruh dalam Satu Jiwa
Bicara tentang demokrasi adalah bicara tentang kebebasan. Tapi bukan kebebasan yang liar tanpa batas, melainkan kebebasan yang mengakar dari kesadaran kolektif untuk mengatur kehidupan bersama secara setara. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Artinya secara harfiah adalah “kekuasaan rakyat.” Dalam semangat inilah, setiap suara dianggap penting, dan setiap opini punya tempat.
Di sisi lain, demonstrasi adalah salah satu bentuk paling konkret dari partisipasi warga dalam demokrasi. Ini bukan sekadar kerumunan yang turun ke jalan. Demonstrasi adalah bahasa rakyat, cara mereka berbicara langsung kepada kekuasaan, ketika saluran-saluran formal tak lagi mampu menampung aspirasi. Demonstrasi adalah energi demokrasi yang hidup.
Demokrasi tanpa demonstrasi ibarat tubuh tanpa denyut nadi. Ia tampak hidup, tapi sebenarnya sekarat. Justru dari demonstrasi, kita bisa mengukur apakah demokrasi benar-benar tumbuh subur atau sekadar menjadi hiasan konstitusional yang hampa.
Dimensi Filosofis dan Ontologis: Hakikat Demokrasi dan Eksistensi Demonstrasi
Secara ontologis, demokrasi tidak bisa hanya didefinisikan sebagai sistem pemilihan umum atau struktur pemerintahan berbasis mayoritas. Demokrasi adalah relasi. Ia hidup dalam hubungan antara warga dan negara, antara yang memerintah dan yang diperintah. Demokrasi sejati mewujud dalam keterlibatan aktif warga negara, bukan sekadar dalam surat suara lima tahun sekali.
Filsuf politik seperti John Dewey menekankan bahwa demokrasi bukanlah tujuan, tetapi proses yang harus diperbarui terus-menerus oleh partisipasi aktif masyarakat. Dalam kerangka ini, demonstrasi bukanlah gangguan, melainkan bagian dari “ritual politik” yang menunjukkan adanya dialog kritis antara rakyat dan negara. Demonstrasi memperlihatkan bahwa rakyat tak pasif; mereka hidup, sadar, dan terlibat.
Hannah Arendt, dalam karyanya The Human Condition, bahkan mengingatkan bahwa politik sejati muncul dari ruang publik di mana manusia hadir secara bersama-sama untuk berbicara dan bertindak. Demonstrasi adalah wujud dari keberanian politik itu—keberanian untuk hadir, menyuarakan pendapat, dan mengambil risiko demi kebenaran yang diyakini. Dengan kata lain, secara ontologis, demonstrasi mempertegas keberadaan warga sebagai subjek politik. Ia bukan aktor pinggiran, tapi pusat dari keberlangsungan demokrasi.
Permasalahan Epistemologis: Pengetahuan dan Kuasa dalam Demonstrasi
Secara epistemologis, demonstrasi adalah benturan pengetahuan antara kekuasaan dan warga. Di satu sisi, negara seringkali merasa memiliki pengetahuan mutlak tentang apa yang terbaik bagi rakyat. Namun di sisi lain, rakyat juga punya pengalaman langsung, pengetahuan sosial, dan realitas sehari-hari yang tak selalu tercermin dalam kebijakan.
Demonstrasi menjadi titik pertemuan dan pertarungan antara narasi resmi dan narasi rakyat. Di jalanan, warga menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak tunggal. Mereka menginterupsi narasi tunggal negara dan memperkenalkan banyak versi kebenaran.
Michel Foucault dalam pemikirannya tentang Power/Knowledge mengingatkan bahwa kekuasaan selalu berkaitan erat dengan produksi pengetahuan. Dalam konteks ini, demonstrasi menjadi upaya rakyat untuk menegaskan pengetahuan mereka sendiri. Ketika buruh berdemonstrasi, mereka tidak sekadar menuntut upah layak. Mereka sedang mengatakan: “Kami tahu seperti apa hidup yang kami jalani. Dan kami tahu, ini tidak adil.”
Pengetahuan rakyat tidak bisa dikesampingkan. Demonstrasi menjadi cara untuk mengekspresikan epistemologi tandingan terhadap narasi negara yang seringkali didominasi oleh elite, oligarki dan teknokrat.
Permasalahan Aksiologis: Etika dan Nilai dalam Demonstrasi
Aksiologi (cabang filsafat yang membahas nilai) membawa kita pada pertanyaan penting: nilai apa yang dibela oleh demonstrasi? Dan bagaimana demonstrasi bisa memperkuat nilai-nilai demokrasi?
Pertama-tama, demonstrasi adalah ekspresi moral dari ketidakpuasan. Ia adalah bentuk etika publik. Dalam demonstrasi, warga tidak sekadar menyuarakan kepentingan, tetapi juga nilai: keadilan, kesetaraan, kebenaran. Ketika masyarakat adat menggelar aksi menolak penggusuran, itu bukan hanya soal tanah. Itu adalah perjuangan untuk hidup yang bermartabat.
Kedua, demonstrasi adalah ruang pembelajaran nilai-nilai kolektif. Di jalanan, orang belajar saling mendengar, bersolidaritas, dan membangun identitas politik bersama. Ini penting, karena demokrasi tidak bisa hidup tanpa masyarakat yang punya kesadaran nilai.
Dalam hal ini, demonstrasi juga menjadi penyeimbang kekuasaan. Ia mengingatkan negara bahwa kekuasaan yang dijalankan tanpa mendengarkan suara rakyat akan kehilangan legitimasi moral. Seperti yang diungkapkan oleh Amartya Sen, demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi soal keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan yang menyentuh kehidupan mereka.
Baca juga: Mengapa RUU-TNI Berbahaya Bagi Kelangsungan Demokrasi Indonesia?
Demonstrasi sebagai Barometer Kesehatan Demokrasi
Salah satu indikator paling nyata dari sehat atau tidaknya sebuah demokrasi adalah bagaimana negara merespons demonstrasi. Apakah ia merayakannya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, atau malah melihatnya sebagai ancaman?
Penelitian dari Freedom House, Reporters Without Borders, dan CIVICUS Monitor menunjukkan bahwa negara-negara yang menekan demonstrasi biasanya memiliki masalah serius dengan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Sebaliknya, negara-negara yang menghormati hak untuk berdemonstrasi justru memiliki masyarakat sipil yang lebih kuat dan kebijakan yang lebih responsif.
Dengan kata lain, demonstrasi adalah cermin. Ia menunjukkan wajah demokrasi kita sebenarnya: apakah negara mendengar atau hanya bicara sendiri. Apakah warga diperlakukan sebagai mitra atau sebagai ancaman. Dari bagaimana negara memperlakukan demonstran, kita bisa tahu apakah demokrasi itu benar-benar hidup, atau hanya tinggal nama.
Demonstrasi Tidak Sama dengan Kekacauan
Banyak pihak yang menyamakan demonstrasi dengan kekacauan. Ini adalah kekeliruan besar. Kekerasan dalam demonstrasi biasanya muncul karena ketidakmampuan negara untuk menciptakan ruang dialog yang sehat. Ketika aspirasi ditutup, frustrasi meluap. Dan ketika aparat lebih siap dengan gas air mata daripada ruang diskusi, maka bentrokan menjadi tak terelakkan.
Namun, penting untuk dipahami: demonstrasi bukanlah kekacauan. Ini adalah bentuk ekspresi politik yang sah. Bahkan dalam banyak kasus, demonstrasi adalah satu-satunya saluran bagi mereka yang tidak punya akses ke ruang kekuasaan.
Baca juga: Trading Halt yang Terjadi Adalah Tanda Bencana Politik
Aksi Anarkis dalam Demonstrasi Bukan Alasan untuk Mendelegitimasi Demonstrasi Itu Sendiri
Salah satu narasi yang paling sering digunakan untuk membungkam demonstrasi adalah dengan menyoroti aksi-aksi anarkis yang terjadi di dalamnya. Mulai dari vandalisme, bentrokan dengan aparat, hingga kerusakan fasilitas publik sering dijadikan dalih untuk menutup mata dari substansi utama yang diperjuangkan oleh massa aksi. Namun, jika kita benar-benar ingin jujur dan adil dalam menilai, kita harus memisahkan antara bentuk dan isi, antara insiden dan esensi.
Dalam konteks demokrasi, demonstrasi adalah ekspresi sah dari kebebasan berpendapat. Ketika sebagian kecil oknum melakukan tindakan anarkis, hal itu tentu tidak bisa dibenarkan. Namun kita juga perlu melihat akar persoalannya. Banyak kajian dari organisasi hak asasi manusia menunjukkan bahwa tindakan anarkis dalam demonstrasi seringkali bukan muncul dari niat awal massa aksi, melainkan sebagai respons terhadap ketertutupan ruang dialog, represivitas aparat, atau bahkan infiltrasi pihak ketiga yang ingin menciptakan kekacauan. Misalnya, Amnesty International Indonesia melaporkan bahwa dalam demonstrasi menolak pengesahan revisi UU TNI pada Maret 2025, aparat keamanan menggunakan kekuatan berlebihan terhadap demonstran dan warga sipil yang melintas di sekitar lokasi aksi. Tindakan represif ini termasuk penangkapan tanpa dasar yang jelas dan kekerasan fisik, yang menciptakan iklim ketakutan dan membatasi kebebasan berekspresi.
Di Indonesia, Amnesty International telah menerima laporan-laporan terpercaya tentang berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh polisi selama demonstrasi, termasuk pembunuhan yang melanggar hukum, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta penggunaan kekerasan yang berlebihan terhadap demonstran maupun orang-orang yang ada di sekitar tempat kejadian yang tidak berpartisipasi dalam aksi demonstrasi. Laporan ini menyoroti bahwa praktik penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya oleh polisi telah menjadi masalah menahun di Indonesia, yang diperparah oleh lemahnya mekanisme akuntabilitas internal dan eksternal.
Filsuf politik seperti Axel Honneth dalam teorinya tentang “pengakuan” (recognition) menjelaskan bahwa ketika individu atau kelompok merasa berulang kali diabaikan, direpresi, dan tidak diakui haknya untuk bicara, maka bentuk ekspresinya bisa berubah menjadi destruktif. Tapi di sinilah pentingnya negara dan masyarakat sipil untuk bersikap jernih: jangan salah fokus pada “cara orang marah” tanpa menyelami “kenapa mereka marah”.
Aksi anarkis tentu perlu dikritik dan ditindak sesuai hukum. Tapi mendelegitimasi seluruh demonstrasi hanya karena satu-dua insiden kekerasan adalah bentuk kemalasan intelektual—jika bukan cara licik untuk menyingkirkan kritik. Dalam demokrasi yang sehat, kita harus cukup dewasa untuk melihat substansi di balik kekacauan, bukan sekadar sibuk mengutuk asap tanpa pernah mencari sumber apinya.
Jika negara benar-benar ingin mengurangi kekerasan dalam demonstrasi, maka solusinya bukan membungkam aspirasi, melainkan membuka ruang partisipasi yang inklusif, aman, dan adil. Karena sejarah telah berulang kali membuktikan: kekerasan jarang lahir dari ruang yang mendengarkan.
Penutup: Menjaga Denyut Demokrasi
Kita hidup di masa ketika demokrasi diuji dari berbagai arah. Dari hoaks, polarisasi politik, hingga represi terhadap kebebasan sipil. Dalam situasi seperti ini, demonstrasi menjadi semakin penting. Ia adalah tanda bahwa rakyat belum menyerah, bahwa mereka masih percaya bahwa suara mereka berarti.
Demonstrasi bukan hanya alat, tapi juga simbol. Simbol bahwa demokrasi bukan hadiah dari penguasa, melainkan perjuangan yang terus diperbarui dari generasi ke generasi. Dan seperti yang pernah dikatakan oleh filosof Jürgen Habermas, ruang publik adalah jantung dari demokrasi. Maka jalanan—yang menjadi ruang publik paling terbuka—juga adalah ruang demokrasi yang paling nyata.
Selama rakyat masih mau turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan, demokrasi masih punya harapan. Dan selama kita mau mendengarkan suara-suara itu, demokrasi kita masih hidup.
Referensi:
Amnesty International. (2019). Unlawful Police Killings and Impunity in Indonesia. Retrieved from: https://www.amnesty.org/en/wp-content/uploads/2021/05/ASA2105772019INDONESIAN.pdf
Amnesty International. (2020). Amnesty to Monitor Human Rights Abuses at Demonstrations. Retrieved from: https://www.amnesty.org/en/latest/news/2020/10/usa-amnesty-to-monitor-human-rights-abuses-at-demonstrations
Amnesty International Indonesia. (2025). Demo Tolak Pengesahan Revisi UU TNI Diwarnai Teror, Kekerasan, dan Intimidasi. Retrieved from: https://www.amnesty.id/kabar-terbaru/siaran-pers/demo-tolak-pengesahan-revisi-uu-tni
Arendt, H. (1958). The Human Condition. University of Chicago Press.
CIVICUS Monitor. (2023). Global Findings Report 2023: Tactics of Repression. Retrieved from: https://monitor.civicus.org/globalfindings_2023/tacticsofrepression
Dewey, J. (1939). Creative Democracy: The Task Before Us. In The Later Works of John Dewey, Volume 14.
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977. Pantheon Books.
Freedom House. (2023). Freedom in the World Report. Retrieved from: https://freedomhouse.org
Honneth, A. (1995). The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts. MIT Press.
Open Government Partnership (OGP). (2023). Actions for a Secure and Open Civic Space. Retrieved from: https://www.opengovpartnership.org/actions-for-a-secure-and-open-civic-space
Reporters Without Borders (RSF). (2023). World Press Freedom Index. Retrieved from: https://rsf.org
Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.