Table of Contents

Bonus Demografi Indonesia? Mustahil Direalisasikan Kalau Demografinya Tidak Diberdayakan (Analisis dengan Perspektif Data Extremistan dan Mediokristan menurut Nassim Nicholas Taleb)

Bonus Demografi Indonesia? Mustahil Direalisasikan Kalau Demografinya Tidak Diberdayakan
Table of Contents

Bonus atau Beban?

Beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, kembali mengangkat isu bonus demografi lewat kanal YouTube resminya. Narasi yang diangkat terdengar familiar: Indonesia akan menghadapi puncak populasi usia produktif antara 2030 hingga 2045. Sekilas terdengar seperti kabar baik. Di masa itu, sebagian besar penduduk Indonesia akan berada dalam usia kerja—artinya lebih banyak orang yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, memperbesar basis pajak, dan memperkuat daya saing nasional. Tapi benarkah demikian?

Pertanyaan mendasar yang seharusnya kita tanyakan bukan hanya berapa banyak penduduk usia produktif yang akan kita miliki, tapi seberapa mampu mereka untuk menjadi produktif. Bonus demografi bisa jadi peluang emas, tapi bisa juga menjadi ilusi besar jika tidak dibarengi pemberdayaan yang nyata. Dan untuk memahami potensi serta bahayanya, kita bisa menggunakan kerangka pemikiran dari seorang pemikir yang mungkin tidak biasa disebut dalam diskusi demografi: Nassim Nicholas Taleb.

Mediokristan vs. Extremistan

Nassim Nicholas Taleb adalah seorang penulis, filsuf, dan mantan trader derivatif berdarah Lebanon-Amerika yang dikenal luas atas kontribusinya dalam memahami ketidakpastian, risiko, dan dampak peristiwa tak terduga dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Latar belakang akademiknya mencakup gelar Ph.D. di bidang manajemen dari Universitas Paris (Dauphine), serta peran sebagai peneliti dan dosen di berbagai institusi ternama, seperti New York University dan Oxford University. Ia dikenal sebagai pemikir yang berani menantang pendekatan konvensional dalam statistik, terutama yang mengandalkan distribusi normal dan asumsi stabilitas, yang menurutnya tidak relevan dalam dunia nyata yang penuh ketidakpastian dan kejutan ekstrem.Dalam bukunya yang terkenal, The Black Swan (2007), Taleb memperkenalkan dua cara utama dunia beroperasi: Mediokristan dan Extremistan.

Mediokristan adalah dunia yang “jinak” dan bisa diprediksi. Di dunia ini, data tersebar merata, outlier jarang muncul, dan rata-rata masih bisa menjelaskan realitas. Misalnya, tinggi badan atau berat badan populasi. Kalau ada seseorang yang tingginya 2,5 meter, dia tetap tidak mengubah rata-rata nasional secara signifikan. Itulah Mediokristan.

Di Mediokristan, karena variabel-variabelnya terdistribusi secara normal atau mendekati normal, kita bisa mengandalkan statistik konvensional seperti rata-rata dan deviasi standar untuk membuat prediksi. Dunia mediokristan cocok untuk memahami fenomena-fenomena yang terikat oleh batas-batas alami dan biologis. Misalnya, tidak ada manusia yang beratnya 3.000 kilogram atau tingginya 15 meter. Karena outlier-nya terbatas, risiko di Mediokristan cenderung bisa dikelola dengan asumsi-asumsi linier. Inilah mengapa banyak kebijakan publik, perencanaan ekonomi, bahkan pendidikan, selama ini masih mengandalkan pendekatan “satu ukuran untuk semua”.

Sebaliknya, Extremistan adalah dunia di mana segelintir kejadian atau individu menguasai sebagian besar hasil.  di mana kemungkinan terjadinya peristiwa ekstrem—meskipun kecil secara statistik—berdampak sangat besar terhadap keseluruhan sistem. Ketika satu bencana ekonomi, satu tokoh berpengaruh, atau satu teknologi disruptif bisa mengubah peta seluruh industri atau negara, kita sedang berbicara tentang logika Extremistan. Taleb menyebut bahwa bahaya terbesar dari dunia ini adalah ilusi stabilitas yang diciptakan oleh data-data biasa, padahal risiko nyata datang dari hal-hal langka, tak terduga, namun sangat berdampak—yang dia sebut sebagai black swan events. Jika kita tidak menyadari bahwa kita hidup dalam dunia yang sebagian besar dikendalikan oleh dinamika Extremistan, maka kita bukan hanya akan salah memprediksi masa depan, tapi juga gagal menyusun strategi untuk bertahan di dalamnya.

Baca juga: Analisa Fundamental dan Teknikal? Semuanya Tidak Berfungsi di Hadapan Kebijakan Politik: Apa yang Bisa Kita Pelajari Dari Kebijakan Tarif Donald Trump

Demografi Indonesia: Antara Potensi Kolektif dan Ketimpangan Ekstrem

Kalau kita bicara soal bonus demografi, maka kita sedang bicara soal potensi pertumbuhan kolektif. Tapi kenyataannya, pasar tenaga kerja dan struktur sosial Indonesia bergerak semakin dekat ke ranah Extremistan. Ketimpangan akses pendidikan, disparitas digital, dan jurang urban-rural membuat hanya segelintir individu yang benar-benar bisa memanfaatkan peluang. Sisanya justru tenggelam dalam keterbatasan sistemik.

Lihat saja bagaimana dunia kerja saat ini memperlakukan anak muda. Mereka yang menguasai coding, punya akses ke laptop, bisa berbahasa Inggris, dan terhubung ke jaringan profesional, cenderung lebih cepat naik kelas sosial. Di sisi lain, jutaan pemuda di pelosok negeri hanya memiliki ijazah tanpa keterampilan yang bisa dijual di pasar kerja global. Hasilnya? Kita mendapatkan generasi yang tampak produktif secara statistik, tapi tidak signifikan secara ekonomi.

Taleb mengingatkan bahwa dunia Extremistan rawan terhadap kegagalan sistemik. Artinya, jika kita tidak waspada, justru kelompok-kelompok rentan yang terlihat “tidak penting” ini yang bisa menjadi pemicu ketidakstabilan. Dalam kasus bonus demografi, itu berarti bahwa jika mayoritas populasi usia produktif dibiarkan tanpa pemberdayaan yang setara, maka potensi bonus bisa berubah menjadi beban sosial.

Mengapa Tidak Cukup Hanya Mengandalkan Statistik?

Narasi bonus demografi sering kali dibangun dengan pendekatan statistik rata-rata. Misalnya: jika 60% penduduk berada dalam usia produktif, maka ekonomi akan tumbuh sekian persen. Tapi Taleb mengkritik keras pemikiran seperti ini. Rata-rata tidak berlaku di Extremistan. Anda tidak bisa menyimpulkan bahwa “mayoritas usia produktif” otomatis berarti “mayoritas produktif.”

Kita bisa ambil contoh dari lapangan: menurut data BPS (2023), pengangguran terbuka Indonesia didominasi oleh kelompok usia 15–24 tahun. Ironis, karena ini justru kelompok yang masuk dalam klasifikasi “bonus” demografi. Jika mereka tidak bekerja, tidak kuliah, dan tidak ikut pelatihan, maka keberadaan mereka lebih dekat ke potensi beban sosial daripada pendorong pertumbuhan.

Lebih jauh, Taleb juga memperingatkan bahwa ketergantungan pada model statistik yang linier—yang mengasumsikan bahwa hal-hal akan berjalan “normal”—adalah kesalahan besar dalam dunia yang semakin tidak normal. Krisis ekonomi, pandemi, disrupsi teknologi, atau konflik geopolitik adalah contoh kejutan-kejutan tak terduga yang bisa membuat prediksi statistik menjadi tidak relevan. Jika kita tidak merancang sistem ketenagakerjaan dan pendidikan yang tahan terhadap “black swan events”, maka struktur demografi kita rentan runtuh seperti kartu domino.

Baca juga: Mengapa Demonstrasi Penting untuk Menciptakan Demokrasi yang Sehat?

Produktivitas Tidak Otomatis Hadir dari Jumlah

Dalam dunia Mediokristan, menambah jumlah penduduk usia produktif akan memberikan efek proporsional. Tapi dalam dunia Extremistan, produktivitas hanya muncul dari mereka yang benar-benar mampu menjadi outlier positif—mereka yang punya keterampilan langka, bisa berinovasi, atau menciptakan lapangan kerja sendiri.

Jadi persoalannya bukan hanya soal jumlah, tapi soal kualitas dan kesiapan sistem. Pemerintah perlu berhenti berpikir bahwa “lebih banyak” otomatis berarti “lebih baik.” Yang lebih penting adalah seberapa dalam kita berinvestasi pada pendidikan yang adaptif, pelatihan berbasis kebutuhan industri masa depan, dan kebijakan ketenagakerjaan yang fleksibel namun adil.

Alih-alih mengukur keberhasilan dengan “jumlah serapan tenaga kerja,” kita perlu bertanya: siapa yang diserap, di sektor apa, dan dengan tingkat upah seperti apa? Taleb mungkin akan berkata bahwa satu lulusan SMK yang diberi keterampilan digital dan akses modal bisa jauh lebih berdampak daripada ribuan pekerja yang hanya mengisi lapangan kerja informal.

Menuju Ekosistem yang Resisten terhadap Kejutan

Taleb mendorong kita untuk membangun sistem yang antifragile—tidak hanya tahan terhadap guncangan, tapi justru semakin kuat karenanya. Untuk konteks bonus demografi, ini berarti menciptakan kebijakan yang fleksibel, adaptif, dan tidak bergantung pada asumsi-asumsi linier.

Sebagai contoh, kita bisa mendorong pendidikan berbasis proyek yang melatih kreativitas dan pemecahan masalah, bukan hanya hafalan. Kita bisa memperkuat ekosistem kewirausahaan sosial dan digital agar generasi muda punya lebih banyak jalan untuk menciptakan nilai. Dan yang tak kalah penting: kita perlu menyusun kebijakan sosial yang melindungi mereka yang tertinggal, bukan justru memperdalam ketimpangan.

Taleb menyukai sistem yang tidak terlalu dikendalikan dari pusat, tetapi memberi ruang bagi eksperimen lokal. Indonesia bisa menerapkannya lewat program-program daerah yang memberi otonomi pendidikan dan pelatihan kerja sesuai kebutuhan lokal. Dengan cara ini, kita membangun ketahanan dari bawah, bukan hanya lewat retorika nasional.

Baca juga: Trading Halt yang Terjadi Adalah Tanda Bencana Politik

Bonus Demografi Harus Dianggap Serius—Tapi Tidak dengan Cara Biasa

Gibran mungkin benar saat menyebut bahwa bonus demografi hanya datang sekali seumur hidup bangsa. Tapi jika kita memperlakukannya dengan logika linier, berpikir rata-rata, dan mengabaikan realitas ketimpangan, maka peluang emas ini akan lewat begitu saja—atau lebih buruk lagi, berubah menjadi krisis sosial.

Taleb mengajak kita melihat dunia dengan lebih jernih, bahwa risiko sejati bukan terletak pada jumlah, tetapi pada ketidaksiapan menghadapi ketimpangan dan kejutan. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah satu-satunya jalan. Bukan hanya pelatihan kerja, tapi transformasi sistemik: dari pendidikan hingga ekosistem industri, dari desa hingga kota.

Karena pada akhirnya, demografi hanya akan jadi bonus jika masyarakatnya mampu menciptakan peluang, bukan sekadar menunggu diserap. Dan jika kita gagal memberdayakan mereka, maka kita harus siap menghadapi bukan bonus, tapi beban. Dan sejarah—seperti yang Taleb sering katakan—tidak punya belas kasihan pada mereka yang gagal belajar dari ketidakpastian.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top