Table of Contents

Dialektika Historis Hegel Bukanlah Sesuatu yang Hebat Dalam Perjalanan Ilmu Pengetahuan

Kritikan Dialektika Historis Hegel
Table of Contents

Dalam sejarah filsafat, tidak sedikit pemikir yang telah memberi sumbangsih penting bagi ilmu pengetahuan. Namun, tidak semua warisan pemikiran patut dirayakan tanpa kritik. Salah satu contoh paling mencolok adalah dialektika historis yang diperkenalkan oleh Georg Wilhem Friedrich Hegel. Salah satu filsuf besar dari Jerman yang dikenal dengan ide “dialektika historis”. Walau dikagumi oleh banyak pengikutnya, dari Marx hingga para idealis Jerman, Karl Popper—seorang filsuf ilmu pengetahuan terkemuka abad ke-20—justru menempatkan Hegel sebagai sosok yang, alih-alih menjernihkan, malah mengaburkan jalan sains dan penalaran rasional.

Apa itu “Dialektika Hegel”?

Hegel percaya bahwa sejarah bergerak melalui konflik dan perubahan yang terjadi secara bertahap. Ia menyebut proses ini sebagai dialektika, yang terdiri dari tiga tahap: tesis (ide awal), antitesis (tandingan atau kebalikan dari ide awal), dan sintesis (penyatuan keduanya menjadi ide baru). Proses ini terus berulang dalam perjalanan sejarah manusia.

Bagi Hegel, sejarah seperti sebuah perjalanan menuju sesuatu yang lebih baik dan lebih masuk akal. Ia percaya bahwa semua peristiwa—baik atau buruk—sebenarnya membawa umat manusia ke arah yang lebih tinggi. Kelihatannya memang indah. Tapi kalau kita pikir ulang, ide ini justru bisa membuat orang berpikir bahwa segala hal, termasuk perang atau ketidakadilan, adalah hal yang “wajar” dalam sejarah.

Popper: Hegel Tidak Ilmiah dan Berbahaya

Karl Popper punya pandangan yang sangat berbeda. Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan tidak seharusnya membenarkan segala sesuatu hanya karena dianggap bagian dari “sejarah besar”. Popper punya satu prinsip penting: setiap teori ilmiah harus bisa dibuktikan salah (falsifiable). Artinya, jika kita punya teori, kita harus bisa mengujinya dan melihat apakah ia benar atau tidak.

Menurut Popper, teori Hegel justru berbahaya karena tidak bisa diuji. Apapun yang terjadi bisa dianggap sebagai bagian dari proses dialektika. Misalnya, kalau terjadi perang, orang bisa bilang, “Itu bagian dari antitesis menuju sintesis yang lebih baik.” Tapi apakah itu berarti perang adalah hal baik? Dengan cara berpikir seperti ini, kita tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Bahasa Hegel yang Rumit Membuat Bingung

Salah satu alasan kenapa banyak orang merasa Hegel itu pintar adalah karena bahasanya sangat rumit dan sulit dimengerti. Tapi menurut Popper, justru di situlah masalahnya. Kalimat-kalimat Hegel terlalu abstrak dan tidak jelas, sehingga orang sering terpesona oleh bunyi kata-katanya, bukan oleh maknanya.

Contohnya, ketika Hegel mengatakan bahwa “negara adalah perwujudan dari akal budi yang tertinggi”, banyak orang mungkin akan kagum. Tapi kalau kita pikirkan baik-baik, apa maksud sebenarnya dari pernyataan itu? Apakah semua tindakan negara, termasuk yang menindas rakyatnya, dianggap masuk akal hanya karena berasal dari “negara”?

Popper melihat ini sebagai cara untuk menghindari kritik. Kalau sesuatu terlalu abstrak untuk dipahami, maka tidak bisa dikritik. Dan kalau tidak bisa dikritik, maka tidak bisa dikembangkan. Dalam ilmu pengetahuan, hal ini sangat berbahaya.

Ketika Filsafat Menjadi Alat Kekuasaan

Menurut Popper, ide Hegel pernah digunakan untuk membenarkan kekuasaan negara yang otoriter. Karena Hegel percaya bahwa negara adalah puncak dari perkembangan akal manusia, maka semua yang dilakukan oleh negara bisa dianggap benar. Pemimpin negara bisa berkata, “Kami hanya menjalankan kehendak sejarah.”

Cara berpikir seperti ini sangat berbahaya. Ia bisa digunakan untuk membenarkan kekerasan, perang, atau ketidakadilan dengan alasan bahwa semua itu hanyalah bagian dari perjalanan menuju masa depan yang lebih baik. Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran seperti ini pernah dimanfaatkan oleh rezim totaliter seperti Nazi dan fasisme.

Popper menekankan bahwa ketika pemikiran filsafat digunakan untuk membela kekuasaan dan membungkam kritik, maka kita tidak lagi berbicara tentang kebenaran atau keadilan, melainkan tentang manipulasi.

Ilmu Pengetahuan Butuh Kritik, Bukan Kepastian

Dalam dunia sains dan pengetahuan, perubahan adalah hal biasa. Sebuah teori bisa saja salah dan harus diperbaiki. Itulah sebabnya ilmuwan selalu menguji kembali ide-ide mereka. Bagi Popper, ini adalah kekuatan terbesar dari ilmu pengetahuan: kemampuan untuk mengoreksi diri sendiri.

Sebaliknya, pemikiran Hegel justru memberikan kesan bahwa semuanya sudah “dalam jalurnya”. Bahkan hal buruk pun dianggap “perlu” terjadi demi kemajuan sejarah. Dengan cara berpikir ini, orang menjadi pasrah dan tidak lagi berusaha memperbaiki keadaan.

Popper mengajak kita untuk meninggalkan cara berpikir seperti itu. Dunia tidak sedang menuju takdir yang sudah pasti. Sebaliknya, dunia berubah karena tindakan dan keputusan kita. Oleh karena itu, kita perlu berpikir kritis dan terbuka terhadap kritik—bukan terjebak dalam sistem metafisik yang seolah punya semua jawaban.

Penutup: Kritik Itu Penting untuk Kemajuan

Hegel memang dikenal luas, dan tidak bisa disangkal bahwa ia punya pengaruh besar dalam sejarah filsafat. Tapi pengaruh besar bukan berarti pemikiran Hegel benar atau berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Karl Popper dengan tegas menunjukkan bahwa sistem Hegel lebih banyak membawa kebingungan daripada pencerahan. Ia menolak cara berpikir yang terlalu yakin pada “jalan sejarah” dan menekankan bahwa hanya lewat kritik terbuka dan pengujian terus-menerus, ilmu pengetahuan bisa berkembang.

Maka, jika kita ingin masyarakat yang lebih terbuka, adil, dan rasional, kita perlu berhenti menyembah pemikiran yang rumit tapi kosong. Kita harus belajar untuk mengajukan pertanyaan, menguji jawaban, dan selalu siap mengoreksi diri. Hanya dengan begitu, pengetahuan kita akan benar-benar bertumbuh.

Referensi

  • Hegel, G. W. F. (1975). Phenomenology of Spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University Press. (Karya asli diterbitkan 1807).
  • Hegel, G. W. F. (2001). The Philosophy of History (J. Sibree, Trans.). Dover Publications. (Karya asli diterbitkan 1837).
  • Popper, K. R. (1945). The Open Society and Its Enemies: Volume I – The Spell of Plato. London: Routledge
  • Popper, K. R. (1957). The Poverty of Historicism. London: Routledge.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top