Table of Contents

Kenapa Manusia Membutuhkan Simbol dalam Kehidupan Mereka? (Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Fenomena Maraknya Bendera One Piece di Indonesia Menjelang Hari Kemerdekaan)

Table of Contents

Dari Bendera Bajak  Laut (Fiksi) ke Panggung Nasional

Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, biasanya warna merah putih mendominasi langit negeri. Tiang-tiang di pinggir jalan, halaman rumah, hingga kantor pemerintahan akan serentak mengibarkan Sang Saka. Namun, beberapa waktu lalu, pemandangan itu sedikit berbeda. Di tengah gelombang persiapan 17 Agustus, sebuah bendera tak biasa ikut berkibar: jolly roger—lambang tengkorak dengan topi jerami, identitas kru Mugiwara dalam serial anime One Piece.

Fenomena ini bukan sekadar tren pop culture. Di media sosial, banyak yang mengaku mengibarkan bendera itu sebagai bentuk “perlawanan” atau sindiran terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Sebagian lain melihatnya sebagai ungkapan ketidakpuasan yang dikemas dalam bentuk kreatif dan “aman” secara hukum, karena sifatnya yang samar-samar: apakah ini sekadar fandom, ataukah pesan politik?

Bagi sebagian orang, ini hanyalah ekspresi fandom—kecintaan pada karakter Luffy dan kawan-kawan. Namun bagi banyak lainnya, bendera itu menjadi simbol protes: sebuah pesan diam terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Fenomena ini memperlihatkan sesuatu yang lebih mendasar—bahwa manusia, pada dasarnya, selalu mencari simbol untuk mengekspresikan keyakinan, identitas, dan perasaannya.

Lalu, kenapa simbol begitu penting dalam kehidupan manusia? Mengapa selembar kain bergambar tengkorak bisa memicu rasa kebersamaan, kemarahan, atau bahkan harapan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa menengok pada analisis psikolog legendaris Carl Gustav Jung dalam bukunya Man and His Symbols (Manusia dan Simbol-Simbol).

Simbol Sebagai Bahasa Bawah Sadar dan Bahasa Tertua Manusia  (Carl Gustav Jung)

Jauh sebelum manusia mengenal alfabet, mereka sudah berkomunikasi lewat simbol. Gambar di dinding gua, ukiran pada batu, atau motif pada kain bukan hanya dekorasi—mereka adalah kode komunikasi yang menyampaikan makna, kepercayaan, dan pengalaman kolektif.

Carl Gustav Jung, dalam karyanya Man and His Symbols, menyatakan bahwa simbol adalah “jembatan” antara kesadaran dan ketidaksadaran. Menurut Jung, pikiran manusia tidak hanya beroperasi melalui logika rasional, tetapi juga melalui bahasa simbol yang tertanam dalam arketipe—pola universal yang diwariskan secara kolektif oleh umat manusia. Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau kata-kata, tetapi bisa diwakili oleh sebuah bentuk, warna, atau lambang. Ketika kita melihat sebuah simbol, kita tidak hanya “melihat gambar,” kita sedang mengaktifkan lapisan terdalam dari pikiran dan emosi kita.

Dalam konteks bendera One Piece, kita bisa melihatnya sebagai bentuk simbolisasi arketipal protes. Apabila kita melihat ini dari sudut pandang Jung, beliau menyatakan bahwa simbol yang efektif bekerja bukan karena penjelasan logisnya, melainkan karena ia memicu resonansi emosional yang dalam. Inilah mengapa banyak orang bisa merasakan “pesan” yang sama, meski tak pernah ada kesepakatan formal untuk menafsirkannya begitu.

Baca juga: Pesimisme: Hal yang Diperlukan Oleh Kita Sebagai Warga Negara (Analisa Melalui Pemikiran Frédéric Bastiat)

Jung dan Alam Simbolik: Dari Arketipe ke Aksi Sosial

Seperti yang sudah di-mention sebelumnya, dalam pandangan Jung, simbol-simbol yang kuat biasanya terkait dengan archetype (arketipe), yaitu pola dasar universal yang ada di dalam ketidaksadaran kolektif manusia. Arketipe-arketipe ini muncul dalam berbagai bentuk, seperti pahlawan, ibu, bayangan, penipu (trickster), dan sebagainya.

Fenomena bendera One Piece adalah contoh modernnya. Bagi penggemar, tengkorak dengan topi jerami bukan sekadar logo—ia adalah manifestasi semangat kebebasan ala Luffy: melawan otoritas yang menindas, menolak untuk tunduk, dan tetap setia pada nilai persahabatan. Makna itu hidup di pikiran kolektif para penggemarnya, lalu berkembang menjadi pesan sosial ketika dibentangkan di ruang publik. Ketika bendera ini dikibarkan di Indonesia menjelang peringatan kemerdekaan, ia memicu resonansi emosional yang dalam—bukan hanya pada penggemar anime, tetapi juga pada mereka yang merasakan frustrasi terhadap situasi sosial-politik.

Jung menekankan bahwa simbol tidak pernah mati selama ia terus memberi makna pada kehidupan manusia. Bahkan, simbol bisa menjadi titik kumpul energi psikologis yang memotivasi tindakan nyata. Itulah mengapa sebuah bendera bisa membuat orang berani berdiri melawan, meski risiko yang dihadapi besar.

Simbol Sebagai Alat Perlawanan

Sepanjang sejarah, simbol selalu menjadi senjata dalam perlawanan sosial. Bendera merah dalam revolusi, bunga anyelir di tangan demonstran, atau topeng Guy Fawkes dalam gerakan Anonymous. semuanya adalah ikon yang melampaui kata-kata.

Fenomena bendera One Piece di Indonesia masuk dalam tradisi yang sama. Ia menjadi bahasa alternatif ketika orang merasa suara mereka tidak didengar. Mengibarkan bendera Mugiwara bukan berarti menyerukan revolusi bersenjata, tetapi menjadi pernyataan visual: “Kami melihat ada yang salah, dan kami tidak diam.”

Menurut Jung, hal ini terjadi karena simbol memiliki kemampuan mengaktifkan emosi kolektif. Begitu sebuah simbol diasosiasikan dengan suatu bentuk protes, ia akan memanggil rasa solidaritas bahkan pada orang-orang yang tidak saling kenal. Simbol menghapus jarak personal dan menggantikannya dengan identitas bersama.

Simbol sebagai Cermin Diri Kolektif

Jung percaya bahwa simbol adalah cermin dari kondisi psikologis masyarakat. Ketika sebuah bangsa berada dalam tekanan politik atau ekonomi, simbol-simbol perlawanan biasanya bermunculan dan mendapatkan dukungan luas. Jika kita melihat bendera One Piece sebagai cermin, maka ia sedang merefleksikan kerinduan kolektif terhadap kebebasan dan keadilan. Bahwa banyak orang merasa ada yang perlu diperjuangkan di luar jalur formal. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa simbol tidak hanya soal estetika, tetapi juga indikator kesehatan sosial.

Baca juga: Dialektika Historis Hegel Bukanlah Sesuatu yang Hebat Dalam Perjalanan Ilmu Pengetahuan

Penutup: Hidup dalam Dunia Simbol

Pada akhirnya, manusia tidak pernah bisa lepas dari simbol. Kita membutuhkannya untuk memahami diri sendiri, membangun identitas, dan menyampaikan pesan. Jung mengajarkan bahwa simbol adalah bahasa alam bawah sadar yang menyatukan manusia lintas budaya dan zaman.

Bendera Mugiwara hanyalah satu contoh kecil dari bagaimana sebuah simbol bisa melompat keluar dari layar anime, masuk ke jalan-jalan, dan menjadi bagian dari perbincangan politik. Hari ini mungkin ia hanya dianggap tren, tetapi di masa depan, ia bisa dikenang sebagai momen ketika sebuah simbol fiksi memicu percakapan serius tentang keadilan politik.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top