Table of Contents

Teror Tempo dan Analisa Menurut Timothy Snyder Dalam Bukunya ‘On Tyranny’ dan Mengapa Sebagai Rakyat Sipil Kita Harus Menentang Keras Tindakan Teror Tersebut?

Teror Tempo dan Analisa Menurut Timothy Snyder Dalam Bukunya 'On Tyranny'
Table of Contents

Ketika Teror Datang ke Pintu Redaksi

Beberapa hari terakhir, dua peristiwa mengejutkan mengguncang ruang demokrasi kita. Kantor redaksi Tempo, media yang dikenal vokal dan kritis terhadap kekuasaan, menerima dua paket yang sangat tidak biasa: satu berisi kepala babi, dan satu lagi berisi bangkai tikus yang telah dimutilasi. Kiriman ini bukan sekadar ancaman personal kepada jurnalis. Ini adalah pesan simbolik yang mengganggu: bahwa menyuarakan kebenaran bisa berujung pada teror.

Situasi ini mengingatkan kita pada peringatan yang pernah disampaikan oleh sejarawan asal Amerika, Timothy Snyder, dalam bukunya On Tyranny. Menurutnya, demokrasi tidak selalu runtuh dengan cara dramatis seperti kudeta. Justru sering kali, kehancurannya dimulai secara perlahan dan senyap—melalui kompromi kecil, melalui normalisasi ketakutan, dan melalui pembiaran terhadap praktik-praktik represif.

Apa yang dialami Tempo bukan hal baru dalam sejarah demokrasi. Menyerang jurnalis adalah pola lama yang digunakan oleh banyak rezim otoriter untuk melemahkan kritik. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap publik terhadap peristiwa semacam ini. Apakah kita menganggapnya serius, ataukah malah membiarkannya lewat begitu saja karena menganggap “itu urusan mereka”? Padahal, apa yang terjadi pada media hari ini bisa terjadi pada siapa pun esok hari.

Dalam riset yang dilakukan oleh UNESCO tentang keselamatan jurnalis, disebutkan bahwa ancaman terhadap media cenderung meningkat di negara-negara yang mengalami kemunduran demokrasi. Serangan terhadap pers tidak selalu berbentuk fisik. Teror simbolik, seperti yang diterima Tempo, juga punya dampak besar. Ia menciptakan rasa takut, mempersempit ruang dialog, dan mendorong publik untuk diam.

Snyder dalam bukunya mengajak kita untuk tidak menormalisasi hal semacam ini. Jangan biarkan ancaman menjadi bagian dari keseharian. Jangan anggap wajar jika seseorang diserang hanya karena pekerjaannya menyampaikan fakta. Sebab begitu kita terbiasa, maka garis batas antara demokrasi dan otoritarian perlahan-lahan akan kabur.

Masyarakat Sipil Sedang Diuji: Apakah Akan Diam, atau Bersikap?

Salah satu pelajaran penting dari Snyder adalah: “Institusi tidak menjaga dirinya sendiri.” Artinya, media tidak bisa bertahan hanya dengan kekuatannya sendiri. Ia butuh publik yang membelanya ketika diserang. Ia butuh warga yang mau bersuara, berdiri bersama mereka yang berani menyampaikan kebenaran.

Dalam survei yang dilakukan oleh Reporters Without Borders (RSF), Indonesia masih berada di peringkat ke-108 dari 180 negara dalam hal kebebasan pers (2023). Angka ini menunjukkan bahwa jurnalis kita masih sangat rentan terhadap tekanan. Teror yang dialami Tempo hanya memperjelas kenyataan itu.

Tapi pertanyaannya: apakah kita cukup peduli untuk melawan? Atau kita akan terus membiarkan ancaman-ancaman semacam ini terjadi tanpa konsekuensi?

Baca juga: Mengapa RUU-TNI Berbahaya Bagi Kelangsungan Demokrasi Indonesia?

Teror Seperti Ini Sebenarnya Berbicara

Teror bukan cuma soal benda yang dikirim, tapi tentang pesan yang ingin disampaikan. Dalam banyak budaya, kepala babi dan tikus sering dilambangkan sebagai hal najis, kotor, dan jahat. Mengirim benda seperti ini adalah cara untuk mengatakan: “Kau menjijikkan. Diamlah.” Ini adalah bentuk upaya psikologis untuk menghancurkan mental jurnalis dan menggoyahkan kepercayaan publik pada media.

Snyder menyebut ini sebagai bentuk “pembunuhan kebenaran secara perlahan.” Ketika jurnalis tidak lagi merasa aman untuk menyuarakan fakta, maka yang hilang bukan hanya berita, tapi juga akses publik terhadap informasi. Dan ketika publik kehilangan akses terhadap informasi yang jujur, maka ruang bagi tirani akan semakin terbuka lebar.

Dalam bukunya On Tyranny, Snyder menyebut pola semacam ini sebagai bagian dari pembunuhan kebenaran secara bertahap. Menurut Snyder, tirani modern tidak selalu datang dengan tank dan senjata. Ia bisa datang melalui tekanan psikologis, intimidasi simbolik, dan pembungkaman secara perlahan. Ketika jurnalis mulai ragu untuk menulis karena takut diteror, atau ketika redaksi harus menghitung risiko fisik sebelum menerbitkan laporan investigasi, maka yang dibunuh bukan hanya keberanian, tapi juga kebenaran itu sendiri.

Lebih jauh, dia juga menjelaskan bahwa tirani tidak membutuhkan sensor ketat untuk bekerja. Ia hanya butuh membuat orang takut berkata jujur. Saat ketakutan itu menyebar, orang-orang mulai menyensor diri sendiri. Dan ini yang paling berbahaya—karena tidak ada lagi yang perlu dilarang secara hukum, sebab semua sudah dibungkam oleh rasa takut.

Baca juga: Orang yang Bersenjata ‘Susah’ Untuk Diajak Berdiskusi dengan Kedudukan yang Sama

Ketika Pemerintah Justru Menyindir, Bukan Melindungi

Dalam suasana yang seharusnya penuh empati dan solidaritas terhadap korban teror, publik justru dibuat geram oleh pernyataan yang keluar dari mulut pejabat tinggi pemerintah. Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, ketika ditanya soal kiriman kepala babi ke redaksi Tempo, dengan santainya melontarkan komentar: “Ya dimasak aja.”

Pernyataan ini bukan hanya tidak etis, tetapi juga menyinggung martabat jurnalis dan melecehkan esensi demokrasi. Seorang pejabat publik semestinya menjadi penjamin rasa aman, bukan menertawakan teror yang mengancam kebebasan pers.

Koalisi masyarakat sipil pun mengecam keras komentar tersebut, menyebutnya sebagai cerminan rendahnya kepekaan pemerintah terhadap ancaman terhadap media. Bahkan publik figur seperti aktor Fedi Nuril ikut bersuara lantang, menyindir bahwa “mulut Anda adalah mulut Presiden.”

Klarifikasi Hasan yang menyebut bahwa ucapannya hanyalah candaan merespons sikap jurnalis yang santai, tidak menghapus kenyataan bahwa apa yang ia ucapkan dilakukan dalam kapasitasnya sebagai wajah komunikasi istana. Dan dalam dunia demokrasi, komunikasi bukan sekadar berbicara—tapi mencerminkan keberpihakan terhadap nilai-nilai.

Demokrasi Itu Perlu Dipelihara Bersama

Kita sering mengira bahwa tugas menjaga demokrasi hanya ada di tangan politisi. Padahal, tugas itu ada di pundak kita semua. Setiap kali kita membela kebebasan berpendapat, setiap kali kita menolak kekerasan terhadap media, kita sedang menjaga republik ini tetap sehat.

Snyder menulis, “Tirani bukan hanya datang dari orang jahat yang kuat. Ia tumbuh karena banyak orang baik memilih untuk tidak melakukan apa-apa.”

Jadi ketika Tempo diteror, kita sebagai rakyat seharusnya merasa diteror juga. Karena tanpa pers yang bebas, tak ada kontrol terhadap kekuasaan. Dan tanpa kontrol terhadap kekuasaan, tak ada jaminan hak kita akan dilindungi.

Kesimpulan: Jangan Diam

Serangan terhadap Tempo bukanlah hal sepele. Ia adalah sinyal bahwa ada kekuatan yang ingin membungkam suara kritis, dan bahwa iklim ketakutan sedang dibangun secara perlahan. Ini bukan hanya soal satu media. Ini soal kita semua.

Kita harus menyadari, seperti yang dikatakan Snyder, bahwa sejarah bisa terulang jika kita gagal mengenali tanda-tandanya. Dan hari ini, kita sedang hidup di antara tanda-tanda itu. Tugas kita bukan menunggu keadaan membaik dengan sendirinya. Tugas kita adalah bersuara, bertindak, dan tidak membiarkan ketakutan menguasai ruang demokrasi yang kita bangun bersama.

Referensi:

  • Snyder, T. (2017). On Tyranny: Twenty Lessons from the Twentieth Century. Tim Duggan Books.
  • UNESCO (2022). Safety of Journalists and the Danger of Impunity.
  • Reporters Without Borders (RSF). (2023). World Press Freedom Index.
  • Tempo.co, Kompas.com, iNews.id (2025). Pelaporan insiden teror terhadap redaksi Tempo.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top